Filsafat Moral: Disequilibrium Citra dan Realita Etika Masyarakat Indonesia (Studi Fenomenologi Penggunaan Media Sosial Instagram)

HINDUALUKTA -- Filsafat Moral: Disequilibrium Citra dan Realita Etika Masyarakat Indonesia (Studi Fenomenologi Penggunaan Media Sosial Instagram). Sejarah mencatat bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas akan pencapainnya. Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang selalu haus akan hal-hal yang belum pernah diketahuinya. Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menjawab dan menghilangkan rasa haus tersebut. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul “Homo Deus A Brief History of Tomorrow” yang menyatakan bahwa manusia jarang puas dengan apa yang sudah di capai. Reaksi paling umum pikiran manusia pada prestasi adalah bukan kepuasan, melainkan mengejar lebih banyak. Manusia selalu mencari sesuatu yang lebih baik, lebih besar, lebih nikmat (Harari, 2018). Pendapat Harari secara langsung merefleksikan bahwa manusia merupakan makhluk yang selalu berpikir.



"Manusia dari kodratnya merupakan makhluk berpikir, ingin mengenal, menggagas, merefleksikan dirinya, sesamanya, Tuhannya, hidup  kesehariannya, lingkungan dunia kehadirannya, asal dan tujuan keberadaannya, dan segala sesuatu yang berpartisipasi dalam kehadirannya. Keinginan rasional ini merupakan bagian kodrati keberadaan dan kehadiran manusia. Karakter rasional kehadiran manusia merupakan suatu kewajaran, kenormalan, ke-natural-an" (Dewantara, 2021).

Kecenderungan manusia yang tidak pernah puas akan pencapainnya ini membuat manusia terus mengembangkan pikirannya agar dapat menjamah segala sesuatu yang selama ini nihil baginya. Penggalian ini terus dilakukan sampai pada akar-akarnya hingga pada akhirnya menemukan apa yang dicari. Pemikiran manusia seperti ini merupakan representasi dari penerapan filsafat. Kerena pada dasarnya karakteristik pemikiran filsafat adalah bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Menyeluruh artinya seorang yang berpikir filsafat tidak puas jika hanya menganalisis dari satu perspektif saja, akan tetapi harus melalui konstelasi perspektif lainnya. Mendasar artinya seorang yang berpikir filsafat tidak langsung percaya pada hal-hal pertama yang ia temukan, akan tetapi akan terus menggali hal tersebut hingga ke dasarnya (radikal). Kemudian yang terakhir adalah spekulatif artinya seorang yang berpikir filsafat dalam mencari dan mencapai kebenaran maka hal pertama yang dilakukan adalah berspekulasi sebagai bentuk hipotesis akan sesuatu hal yang sedang dicarinya.  

Filsafat merupakan cabang dari seluruh pengetahuan sehingga layak disebut sebagai ”Mother of Sciences”. Kehadiran Filsafat disebabkan karena rasa ingin tahu manusia yang tinggis sehingga menyebabkan adanya rasa keraguraguan dalam diri manusia. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer” menyatakan bahwa Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya (Suriasumantri, 2010). Filsafat merupakan upaya untuk mencapai kebenaran dengan jalan menggali sedalam-dalamnya pengetahuan atau fenomena yang ada. Setelah melalui masa yang sangat panjang maka terdapat berbagai cabang-cabang filsafat yang salah satunya adalah filsafat moral.

Filsafat moral merupakan definisi lain dari etika. Etika memiliki terminologi yang secara etimologis berasal dari Yunani, “ethos”, yang berarti “custom” atau kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku manusia, juga dapat berarti “karakter” manusia (keseluruhan cetusan perilaku manusia dalam perbuatannya) (Dewantara, 2021). Lebih lanjut Dewantara menjelaskan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa etika adalah filsafat tentang tindakan manusia sebagai manusia. Suatu tindakan itu mempunyai nilai etis bila dilakukan oleh manusia dan dalam kerangka manusiawi. Jelas bahwa etika itu berurusan secara langsung dengan tindakan atau tingkah laku manusia (Dewantara, 2021).

Etika merupakan pembahasan yang lumrah dilakukan pada zaman postmodern seperti saat ini. Terlebih etika merupakan hal yang masih menjadi perbincangan alot di kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat umum. Salah satu contoh nyata adalah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan rumpun pendudukan yang memiliki citra baik di mata dunia yaitu sebagai masyarakat yang ramah dan sopan. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan diikuti oleh pesatnya penemuan-penemuan dibidang teknologi, membuat masyarakat Indonesia tergerus oleh arus perubahan zaman yang begitu cepat. Penemuan yang paling memengaruhi adalah yang berkaiatan dengan kehidupan maya masyarakat Indonesia melalui media sosial, contohnya seperti Instagram. Penelitian ini akan berupaya untuk menganalisis disquilibrium antara citra masyarakat Indonesia yang dipandang dunia terdahulu dengan realitas masyarakat Indonesia sekarang akibat dari penggunaan media sosial seperti Instagram. Penelitian ini akan dikaji berdasarkan pada perspektif fisafat moral dengan pendekatan studi fenomenologi.

II. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif menekankan pada pengamatan, wawancara atau penelaahan dokumen (Moleong, 2008). Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data dengan cara mengamati fenomena atau realita sosial kehidupan masayarakat Indonesia di dunia maya, melakukan penelaahan dokumen atau studi pustaka yang memiliki korelasi dengan penelitian ini, melakukan penelusuran data online sebagai bahan pendukung penelitian serta melakukan pendekatan fenomenologi terhadap objek yang diteliti. Karena pada dasarnya penelitian yang bersifat kualitatif menggunakan fenomenologi sebagai tumpuannya. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis data dari Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2019). 


Komponen dalam analisis data (interactive model) oleh Miles dan Huberman menyatakan bahwa postulat dasar ketika menganalisis data penelitian adalah dengan mengumpulkan data terlebih dahulu yang bermanfaat bagi penelitian untuk kemudian direduksi. Data yang telah direduksi atau dipilah sesuai dengan kebutuhan penelitian selanjutnya akan dikumpulkan dan ditata agar dapat disajikan dalam penelitian. Melalui proses inilah dapat ditarik sebuah kesimpulan atau konklusi dalam penelitian. Apabila dirasa data yang disajikan masih kurang maka peneliti dapat memulainya kembali dari data awal yang sudah dikumpulkan sebelumnya (data collection). Penelitian ini menggunakan uji kredibilitas (credibility) dalam teknik uji keabsahan data penelitian. Uji kredibilitas disebut sebagai validitas internal sehingga data dapat dinyatakan kredibel apabila adanya persamaan antara apa yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Mekarisce, 2020). Uji kredibilitas dalam penelitian ini berangkat dari aksioma peneliti terkait dengan fenomenan atau realita sosial kehidupan maya masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial (khususnya Instagram) yang mengalami degradasi dan sesuai dengan fakta yang terjadi saat ini.

III. PEMBAHASAN

1.1 Falsafah Hidup Masyarakat Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini terlihat dengan jelas dari berbagai macam eksistensi tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang berkembang dari zaman dahulu hingga sekarang. Budaya yang paling melekat dalam jati diri masyarakat Indonesia adalah budaya gotong royongnya. Gotong royong merupakan sebuah landasan filosofis yang sampai saat ini menjadi tali pengikat kerukunan dan keharmonisan hidup masyarakat Indonesia. Menurut Dr. P. Hardono Hadi dalam bukunya yang berjudul “Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila” menyatakan bahwa gotong royong merupakan sifat yang mengakar dalam pribadi bangsa Indonesia. Sifat mengakar tersebut menunjuk pada suatu adat dan kebudayan sebagai ciri khas bangsa Indonesia (Hadi, 1994).

Asas gotong royong ini merupakan salah satu bentuk implementasi masyarakat Indonesia terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Gotong royong pada awalnya merupakan usulan Ir. Soekarno yang diberi nama “Ekasila”, meskipun tidak dituangkan secara tertulis, tetapi secara langsung gotong royong telah terefleksi dalam sila-sila Pancasila. Sehingga masyarakat dan bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai ideologi dalam bernegara, landasan berpikir, dan juga sebagai falsafah atau pandangan hidup. Falsafah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup (Tim Penyusun, 2008). Kehidupan masyarakat Indonesia tanpa disadari seluruh aspeknya telah mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila telah merasuk ke dalam sanubari seluruh masyarakat Indonesia, sehingga sangat pantas jika Pancasila merupakan falsafah hidup bagi masyarakat Indonesia. Sebagai falsafah hidup atau pandangan hidup, Pancasila mengandung wawasan dengan hakikat, asal, tujuan, nilai, dan arti dunia seisinya, khususnya manusia dan kehidupannya, baik secara perorangan maupun sosial. Falsafah hidup bangsa mencerminkan konsepsi yang menyeluruh dengan menempatkan harkat dan martabat manusia sebagai faktor sentral dalam kedudukannya yang fungsional terhadap segala sesuatu yang ada (Sinergi Bangsa, 17 Januari 2016).

Nilai-nilai luhur yang tercermin dalam Pancasila telah menuntun kehidupan masyarakat Indonesia ke arah yang seharusnya. Melalui nilai-nilai ini seluruh masyarakat Indonesia merupakan individu yang berketuhanan dan beragama. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mengamalkan nilai sila pertama Pancasila. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusia, terlihat dari kepedulian masyarakat Indonesia akan konflik yang terjadi di Palestina. Ini merupakan pengamalan masyarakat Indonesia terhadap sila kedua Pancasila. Masyarakat Indonesia juga selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini bisa dilihat melalui upaya masyarakat Indonesia yang saling bahu membahu dalam menangani pandemi Covid-19. Ini merupakan pengamalan nilai-nilai Pancasila sila ketiga. Selain itu masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah dalam mencapai mufakat. Hal ini diimplementasikan oleh masyarakat Indonesia pada saat pengambilan keputusan dari sebuah problem yang menjadi topik musyawarah. Ini merupakan pengamalan dari Pancasila sila keempat. Serta yang terakhir adalah bahwa masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Hal ini tercermin dari identitas Negara yang merupakan Negara Hukum. Masyarakat Indonesia senantiasa mengedepankan hukum dalam kehidupannya sehari-hari untuk mencapai keadilan dalam hidup berbangsa dan bertanah air. Sikap ini merupakan implementasi dari Pancasila sila kelima.

Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa perlu diimplementasikan untuk membangkitkan semangat juang bangsa. Semangat juang itu bukan saja untuk menyelesaikan keterpurukan ekonomi, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Kualitas itu akan hadir dari manusia yang berkarakter religious, percaya diri, dan memiliki etos kerja yang tinggi (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010). Peneliti sepakat dengan pendapat di atas, mengingat kualitas SDM Indonesia memang harus terus ditingkatkan melalui pendidikan karakter sejak dini yang tepatsasaran dibidang sosio-religius.

1.2 Citra Etika Masyarakat Indonesia

Indonesia merupakan Negara kepulaun yang kaya akan sumber daya alam dan budayanya. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sampai dengan tahun ini, secara resmi Indonesia mengklaim 16.771 pulau (kkp.go.id, 25 Juli 2021). Dari 16.771 pulau yang ada di Indonesia, secara langsung berkorelasi dengan jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di tanah air menurut sensus BPS tahun 2010 (Indonesia.go.id, 03 Desember 2017).

Begitu banyak jumlah pulau dan suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Tentu hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Indonesia di mata dunia. Disadari atau tidak Indonesia juga kental akan nilai-nilai budayanya. Hampir disetiap daerah yang tersebar di 34 provinsi, masing-masing memiliki budaya dan adat istiadatnya tersendiri. Budaya yang paling mencolok dan merefleksikan sifat bangsa atau masyarakat Indonesia di mata dunia adalah keramah tamahan masyarakat indonesaia. Indonesia juga tidak menutup diri terhadap turis asing yang hendak berkunjung ke Indonesia. Sapaan dan senyuman akan sangat mudah di jumpai disetiap sudut wilayah Indonesia ketika turis asing berkunjung ke Indonesia. Sehingga tidak heran jika menurut survei yang dilakukan situs Rough Guides pada pembacanya 2017 lalu, ada beberapa negara yang penduduk lokalnya dianggap paling ramah pada turis. Yang membanggakan, Indonesia berada di peringkat ke-enam dalam daftar itu (Phinemo.com, 25 Juli 2021). 

Sebagai Negara yang di kenal ramah, tentu hal ini tidak lepas dari peran serta masyarakat Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai filosofis Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bertanah air. Filsafat pancasila telah melekat dalam jati diri bangsa atau masyarakat Indonesia. Sifat ramah yang ditunjukan oleh masyarakat Indonesia merupaka citra positif yang hadir sebagai bentuk pemahaman mendalam masyarakat Indonesia akan pentingnya filsafat moral dalam hidup bermasyarakat. Dalam pembahasan ini peneliti akan menganalisis lebih mendalam tentang citra masyarakat Indonesia dalam aspek moralitas atau etika. Citra menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI) adalah (1) rupa; gambar; gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi; (4) data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi (Tim Penyusun, 2008).

Dunia telah mengenal Indonesia sebagai negara yang memiliki citra etika positif. Hal ini terlihat dengan jelas dari budaya masyarakat Indonesia yang selalu menghargai dan menghormati satu sama lain. Sifat-sifat ini merupakan bentuk pengamalan sila-sila Pancasila yang menjadi landasan hidup masyarakat Indonesia. Etika dan moralitas merupakan hal yang vital bagi masyarakat Indonesia. Karena ini merupakan jati diri bangsa yang merepresentasikan citra masyarakat Indonesia di mata dunia. Sejak zaman kerajaan hingga sekarang masyarakat Indonesia selalu berusaha untuk mempertahankan citra ini. Sehingga pengamalan nilai-nilai filsafat moral dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah suatu keharusan yang mesti dilaksanakan setiap harinya.

Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk memeprtahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral (Suriasumantri, 2010). Keberanian moral inilah yang membuat masyarakat Indonesia dapat memeprtahankan citranya di mata dunia sebagai negara yang ramah. Keramahan masyarakat Indonesia tentu akan berimplikasi pada sifat sopan yang dimiliki setiap individu di Indonesia. Hal ini tercermin pada setiap gerak dan gerik masyarakat Indonesia khususnya pada tahun 1900-an, dimana setiap anak di Indonesia akan selalu menundukan kepala dan badannya ketika berpapasan dengan gurunya. Tercermin juga dari sikap anak-anak Indonesia yang tidak berani membantah dan selalu menuruti nasehat yang diberikan oleh tetua-tetuanya. Sikap seperti ini merupakan sebuah keharusan bagi masyarakat Indonesia sebagai bentuk implementasi falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu nilai-nilai filsafat moral dalam Pancasila.

Selain nilai-nilai filsafat moral dalam Pancasila, kehidupan masyarakat Indonesia yang berimplikasi pada citra masyarakat Indonesia dibentuk oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor budaya, tradisi, lingkungan dan pendidikan karakter. Sebagaimana dikatakan oleh Agustinus W. Dewantara bahwa hidup manusia tidak hanya mengalir begitu saja, melainkan juga dibentuk oleh banyak faktor, seperti lingkungan sekitar, tradisi, peraturan, relasi kemanusiaan satu dengan yang lain (Dewantara, 2021). Sehingga berdasarkan pembahasan ini dapat diketahui bahwa citra masyarakat Indoensia merupakan bangsa ramah dan sopan serta dapat menerima segala perubahan yang masuk ke negeranya. Hal ini disebabkan oleh sikap masyarakat Indonesia yang senantiasa menerapkan nilai-nilai luhur filsafat moral yang terdapat dalam silasila Pancasila. 

1.3 Realita Etika Masyarakat Indoensia

Citra Indonesia yang begitu mendunia karena sifat masyarakatnya yang ramah dan sopan dewasa ini hanya isapan jempol belaka. Realitanya kondisi etika masayarakat Indonesia telah berada diambang batas akibat tergerus oleh perkembangan dan kemajuan teknologi. Teknologi membuat pendidikan karakter bagi masyarakat Indonesia tidak ada gunanya lagi. Terlebih lagi semakin hari pendidikan karakter yang diperoleh masyarakat Indonesia kian menurun. Kondisi masyarakat Indonesia yang etikanya amat buruk berimplikasi pada aspek kehidupan lainnya seperti maraknya ketidakadilan, kriminalitas, penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam kebawah, serta ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan stabilitas Negara.

Hasil studi dikemukakan bahwa kalangan warga Indonesia di luar negeri, melihat kondisi Indonesia tiga tahun terakhir ini citranya amatlah buruk. Terjadinya ketidakadilan, lemahnya penegakan hukum, hingga merosotnya kualitas keamanan, ditambah lemahnya kemampuan public relations pemerintah (Ma’mun, 2009). Kondisi citra bangsa Indonesia memang sangat memprihatinkan. Terlebih lagi di zaman Revolusi Industri 4.0 seperti saat ini dimana teknologi berkembang begitu pesan beriringan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan membuat manusia mengesampingkan aspek moralitas dalam kehidupannya. Zaman ini juga disebut sebagai zaman postmodern dimana arus informasi yang tersebar tidak seimbang dengan jumlah produksi produk. Sehingga tidak jarang informasi yang disampaikan memiliki tingkat reliabelitas yang rendah.

Maraknya informasi yang tersebar di dunia maya memunculkan berbagai spekulasi dari pengguna media sosial sebagai masyarakat di dunia maya (netizen). Masyarakat yang bergerak dan menghabiskan seperempat hidupnya didepan laptop atau handphone memiliki tingkat karakter yang amat rendah. Hal ini disebabkan oleh informasi-informasi yang tersebar dan dipelajarinya tidak disaring atau difilter terlebih dahulu kebenarannya. Sehingga moralitas dan etika merupakan hal yang paling dipertanyakan bagi kaum ini. Meskipun tidak seluruhnya merupakan pribadi yang rendah moral dan etikanya. Namun sebagian besar merupakan pribadi yang tidak sopan ketika bermedia sosial atau dalam kehidupan mayanya. Dimensi filsafat moral sekakan-akan tidak mempan bagi mereka yang hidup di dunia maya. Sifat negatif yang ditunjukan di dunia maya bahkan ada yang sampai terbawa ke dalam kehidupan sosial masyarakat yang sebenarnya. Hal ini tentu merupakan sebuah kekhawatiran yang mendalam bagi masa depan bangsa dan negara. Terlebih lagi banyak dari pelakunya adalah generasi muda yang merupakan aset berharga bagi bangsa dan negara. 

Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Indonesia. Dewasa ini masyarakat Indonesia telah banyak mengalami degradasi moral dan etika, utamanya dalam kehidupan sosial di dunia maya. Jika ini tetap dibiarkan maka citra bangsa Indonesia yang ramah dan sopan akan hilang begitu saja tanpa jejak. Bukti konkret yang dapat kita lihat tentang tingkat kesopanan masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat utamanya dalam kehidupannya di dunia maya adalah hasil dari survey Microsoft tentang Indeks Keberadaban Digital (Digital Civility Index) masyarakat Indonesia. Microsoft pekan ini merilis “Indeks Keberadaban Digital” atau “Digital Civility Index” yang menunjukkan tingkat keberadaban pengguna internet atau netizen sepanjang tahun 2020. Hasilnya memprihatinkan karena menunjukkan bahwa tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah. Laporan yang didasarkan atas survei pada 16.000 responden di 32 negara antara April - Mei 2020 itu menunjukkan Indonesia ada di peringkat 29 (Voaindonesia.com, 26 Februari 2021).


Berdasarkan hasil studi, peneliti menemukan beberapa contoh komentar negatif netizen Indonesia di media sosial Instagram yang menurut peneliti turut  menjadi bagian penilaian Microsoft dalam memberikan predikat kepada Indonesia sebagai negara yang tingkat keberadabannya (civility) dalam bermedia sosial sangat rendah. 



Permasalah ini tentu sangat berpengaruh terhadap citra bangsa Indonesia di mata dunia. Apalagi yang membuat laporan adalah platform besar sejenis Microsoft yang penggunanya tersebar diseluruh dunia. Indonesia telah mengalami krisis etika, sehigga penting bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk segera membenahinya. Komentar-komentar negatif yang dilontarkan di media sosial harus segara di tuntaskan. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai luhur filsafat moral dalam Pancasila tidak lagi diindahkan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terlalu nyaman dengan arus globalisasi sehingga melupakan konsep-konsep budaya adi luhung yang diturunkan oleh pendahulu bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini;

Proses globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah meningkatkan pertemuan antarbudaya melalui televisi, internet, buku, majalah, koran dan beberapa media yang lainnya. Dalam pertemuan antar budaya tersebut nilai budaya yang mengiringi arus globalisasi oleh masyarakat seiring dilihat dan diambil bukan dari segi  aspek positifnya, yakni penguasaan sain dan teknologi, tetapi hanya pada gaya hidup global. Sementara itu nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lama, tidak mampu bertahan ketika berhadapan dengan nilai budaya baru dan terpinggirkan dari fungsinya sebagai rujukan tatanan nilai kehidupan bermasyarakat, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan perubahan dan ketidak mampunya membawa perbaikan dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam masyarakat (Surawati, dkk., 2019). 

Untuk dapat menangani permasalahan ini maka kajian-kajian filsafat moral harus kembali dan terus ditanamkan dalam jati diri masyarakat Indonesia dewasa ini. Kajian-kajian filsafat moral tersebut adalah berupa pendidikan etika yang harus disuntikkan dalam pikiran dan hati masyarakat Indonesia. Kajian etika merupakan bagian penting dari filsafat, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki akal, hati, serta hawa nafsu. Manusia diberikan kemampuan untuk memaknai perbuatan baik dan buruk secara subjektif (Ibrahim dan Hendriani, 2017). Sehingga melalui pendalam pendidikan etika diharapkan dapat mengembalikan jati diri bangsa Indonesia yang sopan dan rendah hati. 

1.4 Disequilibrium Citra dan Realita Etika Masyarakat Indonesia

Citra etika masyarakat Indonesia telah tergambar jelas pada pembahasan di atas begitupula dengan realita etika masyarakat Indonesia. Perkembangan teknologi menjadi unsur utama yang menyebabkan perbedaan citra dan realita dalam kehidupan moral masyarakat Indonesia. Sejatinya teknologi bukanlah tersangka dalam problematika ini. Masyarakat Indonesia lah yang kurang bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Citra bangsa Indonesia yang melekat sebagai masyarakat yang humanis, sopan dan ramah, kini hanya menjadi sejarah yang sewaktu-waktu masih dapat dikenang. Realitanya kini bangsa Indonesia dihadapkan dengan kenyataan bahwa genarasi penerus bangsa kurang memahami hal-hal yang berkaitan dengan moral sebagai jati diri bangsa.

Sejarah mencatat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berbudaya dan menghargai satu sama lain. Hal ini tidak lepas dari perasaan susahnya meraih kemerdekaan pada saat masa penjajahan. Sehingga pendahulu bangsa Indonesia terdahulu begitu menghargai rasa saling menghormati satu sama lain. Namun kini sejarah juga mencatat bahwa bangsa Indonesia melalui masyarakatnya telah dikenal dunia sebagai masyarakat yang tidak sopan utamanya dalam kehidupan bermedia sosial. Platform besar sekelas Microsoft telah mencatat jejak digital tersebut dan selamanya akan diingat oleh seluruh manusia diberbagai belahan dunia. 

Media sosial memang menunjang berbagai aktivitas maya masyarakat diseluruh belahan dunia. Namun seharusnya hal tersebut tidak lantas membuat masyarakat Indonesia lupa akan nilai-nilai moral yang menjadi jati diri bangsa. Bangsa Indonesia telah dihadapkan pada ketidakseimbangan antara citra yang diraih terdahulu dan bersusah payah dipertahankan dengan kenyataan sekarang bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang tidak sopan. Degradasi nyata terlihat disini dari kondisi bangsa yang memiiliki citra postif kini hanya tinggal kenangan dan pada saat ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki citra negatif.

Disequilibrium antara citra dan realita etika yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak lepas dari kontribusi masyarakatnya. Masyarakat yang sebagai besar merupakan generasi Z (iGeneration) dan generasi Alpha kurang dapat mengamalkan nilai-nilai luhur filsafat moral dalam Pancasila sebagai landasan falsafah dalam hidup bermasyarakat. Hal semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Karena jika tidak segera ditindaklanjuti, maka moralitas bangsa Indonesia akan terus terdegradasi. Moralitas harus menjadi landasan hidup bangsa Indonesia dan hal ini harus segera dikembalikan. Moralitas bukan perkara tuntunan yang dilayangkan Negara kepada masyarakatnya. Akan tetapi, moralitas merupakan kewajiban setiap idividu dalam hidup bermasyrakat untuk menghormati dan menjalankan norma-norma yang berlaku. Apalagi masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama. Maka moralitas bukanlah hal yang tabu, akan tetapi hal yang patut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Moralitas akan tercapai bila ketaatan atas hukum lahiriah bukan lantara hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau sebab takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban (Gusmian, 2014).

Penting menanamkan kembali nilai-nilai moralitas kepada generasi penerus bangsa yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Mengingat etika yang ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari dan utamanya dalam kehidupan di dunia maya dalam menggunakan media sosial sangat rendah sekali. Etika bukan teori abstrak, melainkan refleksi atas suatu pengalaman yang tidak dapat disangkal, yaitu kesadaran moral: kesadaran adanya kewajiban mutlak. Adanya kewajiban mutlak tidak berdasarkan suatu bukti teoretis, melainkan selalu sudah diketahui dan dirasakan (Gusmian, 2014). Kesadaran moral menjadi bagian penting dalam upaya memperbaiki moral bangsa yang  telah merosot. Terlebih jika dianalisis berdasarkan perspektif filsafat moral melalui studi fenomenologi, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis dan degradasi moral atau etika yang cukup tinggi.

Degradasi ini dapat dilihat dari cara berbahasa, cara berprilaku, dan cara berpikir. Dewasa ini dapat dengan jelas disaksikan bagaimana cara generasi muda dalam menggunakan bahasa. Tidak ada batasan antara berbicara dengan orang yang lebih tua dengan yang seumuran atau bahkan dengan yang lebih kecil. Bahasa yang digunakan harusnya memperhatikan etika dalam penggunakan bahasa atau jika dalam pengetahuan masyarakat Bali disebut dengan istilah “sor singgih basa”. Selanjutnya cara berperilaku generasi muda dewasa ini bahkan tidak ada batasannya. Generasi muda pada zaman sekarang bahkan sering menentang perkataan orang tua mereka sendiri. Hal ini tentu mereka pelajari dari berbagai tontonan yang terdapat di dunia maya tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Kemudian yang terakhir adalah cara berpikir, generasi zaman sekarang merupakan genarasi yang suka dengan sesuatu yang serba instan. Berbeda dengan genasi pendahulu yang merupakan generasi pekerja keras. Hal ini menyebabkan generasi muda zaman sekarang memiliki mental yang lemah. Seluruh bentuk krisis etika ini tidak lepas dari pengaruh pendidikan dan pengajaran yang diberikan orang tua di rumah.

Pendidikan moralitas dan etika merupakan sesuatu yang penting diberikan kepada seluruh masyarakat Indonesia guna menciptakan manusia-manusia yang bermoral dan beretika baik. Manusia disebut bermoral baik apabila hidupnya dijuruskan ke arah tujuan terakhirnya dan perbuatan-perbuatannya membawa manusia ke arah tujuan terakhirnya yang baik, yang tinggi itu, tak peduli apakah ia sebenarnya mecarinya atau tidak (Fachri, 2015). Ketika seluruh masyarakat Indonesia telah terdidik hati dan pikirannya menjadi manusia yang bermoral baik, maka antara citra dan realita etika bangsa atau masyarakat Indonesia akan kembali equilibrium/seimbang. Sehingga disequilibrium antara citra dan realita etika masyarakat Indonesia tidak akan terjadi kembali. 

IV. PENUTUP

Filsafat moral merupakan definisi lain dari etika. Etika memiliki terminologi yang secara etimologis berarti kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku manusia/karakter manusia (keseluruhan cetusan perilaku manusia dalam perbuatannya). Filsafat moral merupakan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam sila-sila Pancasila. Pancasila menjadi falsafah hidup masyarakat Indoenesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bertanah air. Berdasarkan hasil analisis peneliti melalui perspektif filsafat moral dan studi fenomenologi yang peneliti lakukan, peneliti menemukan adanya disequilibrium antara citra dan realita etika masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa  dan bertanah air. Hal ini didasarkan pada fakta fenomena dan problematika yang terjadi membuktikan bahwa masyarakat kurang mengimplementasikan nilai-nilai luhur filsafat moral yang terdapat dalam Pancasila. Kondisi ini berkaitan erat dengan tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kondisi moralitas dan etika masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial. Disequilibrium yang terjadi mengarah pada degradasi masyarakat Indonesia dari citra bangsa yang ramah dan sopan menuju realita sebagai bangsa yang tidak sopan dalam kehidupan bermasyarakat utamanya dalam aspek bermedia sosial. Hal ini juga berpengaruh signifikan terhadap diplomasi Indonesia di mata dunia. Maka penting untuk segara memeperbaiki hal ini agar citra bangsa Indonesia kembali seperti semula. Tindakan konkret yang dapat ditempuh untuk memperbaiki hal tersebut adalah dengan memberikan pendidikan dan pengajaran moral dan etika kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 


Judul: Filsafat Moral: Disequilibrium Citra dan Realita Etika Masyarakat Indonesia (Studi Fenomenologi Penggunaan Media Sosial Instagram)
Oleh: Ida Bagus Putu Adnyana
Dari: Program Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

0 Response to "Filsafat Moral: Disequilibrium Citra dan Realita Etika Masyarakat Indonesia (Studi Fenomenologi Penggunaan Media Sosial Instagram)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel