Teologi Hindu dan Kesalahpahaman terhadap Hindu

HINDUALUKTA -- Kata-kata Teologi Hindu sampai saat ini masih sangat asing di telinga umat Hindu termasuk di telinga para intelektual Hindu. Padahal Teologi Hindu mutlak harus dipahami oleh setiap umat Hindu. Donder (2010) dalam Teologi Sanatana Dharma menguraikan bahwa pembahasan tentang teologi dalam Hindu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Bhagavadgita sebagai pustaka Hindu yang sangat tua pada setiap akhir percakapan selalu ditutup dengan kalimat: Ity śrῑmad bhagavadgῑtāsupaniatsu brahmavidyāyām ......., yang artinya: “Inilah wejangan Bhagavadgῑtā, yaitu ilmu tentang Tuhan Yang Maha Mutlak (teologi).” Kalimat ini diulang sebanyak 18 kali pada setiap akhir bab Bhagavadgῑtā. Hal tersebut membuktikan bahwa pembicaraan tentang Brahmavidya atau ilmu ketuhanan (teologi) bukanlah hal baru dalam khazanah pengetahuan Hindu. 


Aryabhatta (dalam Titib, 1996:7 dan 2003:7) menyatakan bahwa Bhagavadgῑtā diwejangkan oleh Sri Krishna saat Bharatayuda yang jatuh pada tanggal 18 Februari 3102 SM, sehingga Teologi Hindu telah dibicarakan sejak 5117 tahun yang lalu. Sejak lima ribu tahun lebih Teologi Hindu telah dibahas dengan cakupan teologi yang sangat luas meliputi bidang pengetahuan dan kepercayaan yang sangat luas pula meliputi segala macam isme yang dianut oleh manusia, karena itu pula Brahmavidya dapat disebut sebagai Teologi Kasih Semesta (Donder, 2006; 2010).

Pengkajian Teologi Hindu mutlak harus dilakukan sebagaimana pustaka Brahma Sūtra I.I.1 menyatakan athāto brahmajijñāsā yaitu ’penyelidikan ke dalam Brahman harus dilakukan’ (Śakarācārya, 2011:6). Svami Viresvarananda (dalam Donder, 2010:69) menyatakan bahwa penyelidikan adalah hal yang sangat penting, karena ada ketidak-pastian mengenai hal itu, dan kita menemukan berbagai pandangan yang berlainan bahkan bertentangan mengenai sifat-sifatNya. Hasil penyelidikan itu akan mampu mengungkap tentang pengetahuan Sang Diri yang selanjutnya membawa manusia untuk dapat mengalami pembebasan sejati. Karena itu secara aksiologis penyelidikan tentang Brahman melalui pengujian dengan naskah-naskah Vedanta yang berkaitan denganNya menjadi sangat penting dan berharga. 

Lebih lanjut, Svami Viresvarananda (dalam Donder 2010: 69) menguraikan bahwa agar manusia memahami pengetahuan tentang Brahman (Tuhan) secara benar, maka Tuhan harus diberikan atribut seperti nama atau gelar, manifestasi atau sifat-sifatNya yang tertentu. Jika Tuhan tidak beratribut maka tidak mungkin dapat dijangkau oleh manusia suci sekalipun apalagi manusia biasa atau masyarakat awam. Brahman yang tak terjangkau oleh pengetahuan manusia itu, masuk dalam wilayah pengetahuan paravidya, pengetahuan ketuhanan atau teologi pada wilayah pemahaman ini disebut pengetahuan Nirguna Brahma. Tuhan pada wilayah teologi ini tidak mungkin diajarkan secara umum kepada masyarakat luas sebagaimana juga diisyaratkan dalam Bhagavadgita X:2 dan XII.5 (Radhakrishnan, 2014: 303 dan 346; Krishna, 2015:389 dan 476). 

Pengetahuan teologi Nirguna Brahma hanya dapat dikuasai oleh sebagian kecil umat manusia atau hanya dikuasai oleh orang-orang suci (para rsi, yogi, sufi), yaitu mereka yang sudah terbebas dari kesadaran fisik atau kesadaran materi. Orang seperti itu adalah orang yang setiap detik selalu ingat dan berhubungan dengan Tuhan, atau dalam setiap tarikan napasnya selalu ada Tuhan yang melampaui batasan nama, bentuk, atribut, manifestasi, dsb. Sedangkan untuk kebutuhan manusia pada umumnya, maka para bijak menciptakan pengetahuan tentang Tuhan yang memiliki nama, bentuk, atribut dan berbagai manifestasi yang spesifik sesuai tujuan pemujaan. Pengetahuan tentang Tuhan dengan atribut ini masuk dalam wilayah kognitif teologi Saguna Brahma. 

Sesungguhnya teologi Saguna Brahma ini bersifat metodologis agar seluruh umat manusia mengalami pencerahan dan sampai kepada pengetahuan transenden serta dapat mengalami hubungan dengan Tuhan. Pada wilayah kognitif teologi Saguna Brahma inilah munculnya ñyasa atau bentuk-bentuk simbol keagamaan dalam bentuk gambar, patung, wajah dewa, dsb. Sehingga kehadiran segala bentuk simbol harus dilihat sebagai sarana atau alat yang digunakan untuk mempermudah aplikasi metode pengetahuan tentang Tuhan Saguna Brahama. Jika saja setiap orang atau para penulis buku, pengarang buku, para peneliti, para teolog, dan para ilmuwan memahami hal ini, maka niscaya tidak akan ada kesalahpahaman dan tudingan yang sumir terhadap Hindu (Donder,2010). 

Dalam upaya membangun hubungan yang harmonis antara sesama manusia, maka setiap penganut agama sangat penting memahami secarai baik dan benar tentang teologi sebagaimana diajarkan di dalam agama yang dianutnya. Tidak ada iman yang kokoh tanpa dilandasi oleh pemahaman teologi sesuai dengan agama yang dianutnya. Artikel yang ditulis Donder (2008:22-23) dalam majalah Media Hindu Jakarta dengan judul Umat Hindu Mutlak Memahami Teologi Hindu. Pada artikel tersebut ditulis bahwa ”Semua konversi agama yang selama ini dialami umat Hindu sejak zaman dulu hingga saat ini merupakan isyarat bahwa Teologi Hindu tidak tertanam kuat hingga menjadi dasar keyakinan yang kuat terhadap sebagian besar umat Hindu di Indonesia, India dan khususnya di Bali. Selain itu, setiap penganut agama penting juga untuk memahami agama lain secara proporsional untuk membangun sikap dan pikiran yang positif terhadap semua agama sebagai suatu realitas yang tidak bisa diabaikan. 

Wilayah Teologi Secara Esoteris dan Eksoteris

Frithjof Schuon membagi umat manusia dalam dua kelompok pemahaman teologis yang dituangkan dalam sketsa esoteris dan eksoteris sebagaimana gambar (Gbr.1) di bawah. Schoun (1987) berpendapat bahwa konflik tentang Tuhan terjadi pada masyarakat umum yang belum memiliki pengetahuan teologis yang mapan. Tetapi pada tataran perspektif spiritualitas agama yang sangat mapan seperti para yogi dan para sufi tidak ada lagi konflik teologis. Kenyataan ini dapat dianalogikan seperti para pemanjat gunung, mereka akan melihat pemandangan yang berbeda sesuai dengan lereng gunung yang dilaluinya. Semua pemandangan yang berbedabeda itu akan terlihat secara keseluruhan ketika semua pemanjat gunung sampai pada puncak gunung.

Pada tingkat esoteris semua jalan dan semua cara mendapat penghargaan dan pengakuan yang sama. Untuk membangun keharmonisan atau kedamaian antarumat beragama, para pendaki gunung spiritualitas agama yang sudah sampai pada level esoteris memiliki kewajiban untuk memberi teladan agar umat beragama tidak bertengkar hanya karena perbedaan lereng gunung agama yang dilalui. Hal ini sangat sesuai dengan pernyataan Bhagavadgita III.21 (Radhakrishnan, 2014:160 dan Krishna, 2015:163). 


Sejalan dengan pandangan Schuon, Donder (2010:31-33) sesuai dengan fokus artikel ini menguraikan bahwa ajaran Hindu mengelompokkan seluruh umat manusia dalam dua kelompok teologis, yaitu kelompok ahli (jñani) dan kelompok awam (ajñani). Kelompok jñani akan menggunakan teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan Yang Tidak Diberi Atribut Apapun atau Tuhan Yang Tidak Termanifestasikan. Sedangkan kelompok ajñani menggunakan teologi Saguna Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan yang sebaliknya. Hal ini relevan dengan tesis Schuon tentang wilayah pemahaman esoteris dan eksoteris. 

Berdasarkan analisis teologis itulah maka muncul konsep dan metode berbeda-beda untuk menggambarkan Tuhan Yang Sama. Kehadiran konsep Tuhan yang digambarkan seperti manusia, leluhur, benda-benda kosmis dibutuhkan untuk kelompok awam (ajñani atau orang pada umumnya). 

Sedangkan kehadiran konsep Tuhan Yang tidak dapat dibayangkan seperti apapun adalah konsep teologi untuk para jñani (para resi atau yogi). Pluralitas teologis yang muncul dalam Hindu untuk menolong umat manusia yang memiliki berbagai level pengetahuan dan kesadaran spiritual agar semua manusia secara bersama-sama mencapai yang transendental sebagaimana (Gbr.2). Jika pluralitas konsep teologi Hindu dipahami secara komprehensif maka seseorang tidak akan salahpaham terhadap Agama Hindu.

Wilayah-Wilayah Kognitif Teologis dalam Teologi Hindu 

Kepercayaan seseorang kepada Tuhan atau yang bersifat transendensi ditentukan oleh tingkat kematangan pengetahuan seseorang tentang konsep Tuhan atau transendensi tersebut. Semakin mampu seseorang berinsteraksi makin mampu seseorang memahami hal yang abstrak. Oleh sebab itu pemahaman umat manusia terhadap Tuhan yang abstrak atau Tuhan yang transenden dapat dikelompokkan dan dipetakan berdasarkan konsep wilayah-wilayah kognitif teologis (Donder, 2010:31-44).

Nirguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Tanpa Wujud (A)

Objek pertama dan utama Brahmavidya atau teologi adalah Tuhan, Tuhan dalam pengertian pertama adalah” Tuhan Yang Tidak Dapat Dibatasi oleh Ruang dan Waktu”. Tuhan dalam definisi ini berada pada wilayah tanpa batas (Gbr. 2) yaitu gambar sketsa ilustrasi yang hendak menggambarkan posisi tentang wacana Tuhan berada pada wilayah yang diberi simbol (A) (Donder, 2006:13, 2010:33). Oleh sebab itu tidak mungkin bagi manusia dengan pengetahuan sangat terbatas dapat membatasi Tuhan yang Tak Terbatas. Tuhan dalam konsep teologi Nirguna Brahma, tidak memiliki bentuk tertentu, tidak memiliki nama tertentu, tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu apapun. Brahman atau Tuhan bukan ini atau itu (neti neti) atau Impersonal God. Selama kita memberi nama apapun namaNya, hal itu telah mendefinisikan Tuhan Yang Tak Terbatas ke dalam nama atau bahasa yang terbatas. Hal ini tidak mungkin, oleh sebab itu Brahmavidya ’Pengetahuan tentang Tuhan’ pada wilayah ini tidak mengizinkan pemujaNya untuk membayangkan Tuhan yang Tak Terpikirkan (Acintya) sebagai apapun.

Sungguh sangat sulit membayangkan bagaimana cara memuja Tuhan Yang Tidak Terbayangkan. Kitab suci Hindu dengan lugas menggambarkan wilayah Tuhan yang Nirguna Brahma (Bhagavadgita X.2; XII.5). 

Nirguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Sebagai Simbol (B)

Donder (2010:116, 2013:60) menguraikan bahwa definisi Tuhan sebagai bukan sesuatu, tidak berwujud sesuatu, tidak mirip dengan apapun menjadi persoalan besar bagi manusia. Karena manusia tidak dapat memfokuskan pikirannya pada sesuatu yang tidak berwujud apa-apa. Karena itu, maka muncullah simbol bunyi sebagaimana dilukiskan pada Gbr. 2 dengan huruf AUM OM yang juga dijelaskan dalam Bhagavadgita X.25, 33. Konsep Tuhan pada wilayah teologi (B), masih termasuk dalam wilayah teologi Nirguna Brahma atau Tuhan tidak dapat dibayangkan. Sebagai Tuhan yang tidak dapat dibayangkan, maka Ia sulit dipuja oleh umat manusia pada umumnya, sebab Tuhan sebagai objek pemujaan sifatnya harus dapat dibayangkan. Aktivitas pemujaan, persis seperti seorang yang akan memanah, jika pikirannya tidak terfokuskan maka sasaran pemujaan bisa meleset. Demikian pula hakikat Tuhan sebagai objek yang disembah oleh manusia, untuk itu orang suci berkenan memberikan solusi melalui simbol aksara (huruf).

Dari sekian banyaknya aksara, maka ada 3 (tiga) aksara yang mewakili semuanya itu, yaitu: pertama, huruf (A) yang karena artikulasinya menyebabkan mulut dalam posisi terbuka yang mirip dengan tanda “lebih besar” (>) atau tanda lebih kecil (<) dalam simbol-simbol matematik. Simbol itu diasumsikan sebagai “saat penciptaan”, karena ada ruang yang terbuka (kosong) yang menjadi tempat bagi hadirnya ciptaan. Kedua, huruf (U) yang membuat mulut seolah membentuk simbol union (simbol u kesamping), simbol ini diasumsikan sebagai “saat pemeliharaan”. Dan yang ketiga, huruf (M) atau jika diguling ke kiri akan membentuk simbol jumlah (S), bentuk simbol ini sama dengan simbol (=), membentuk mulut tertutup rapat yang mengandung makna sebagai kondisi berakhirnya sesuatu, penutup, atau peleburan. Ketiga simbol tersebut mengandung hakikat dari Tri Murti (tiga manifestasi Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur), mewakili seluruh manifestasiNya. Tidak ada katakata di dunia dalam bahasa apapun yang dapat mewakili seluruh manifestasi Tuhan melebih dari kata AUM (Donder, 2010:36, 2013:60).

Nir-saguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Semipribadi (C)

Wilayah ketiga dari peta wilayahwilayah pengetahuan ketuhanan (teologi) seperti terlihat pada (Gbr. 2) di atas adalah wilayah yang ditunjukkan oleh daerah (C) terdiri dari wilayah (C1 dan C2). Wilayah irisan antara wilayah teologi Nirguna Brahma (A) dan wilayah teologi Saguna Brahma (E). Sehingga wilayah ini dapat disebut sebagai wilayah perpaduan antara Nirguna Brahma dan Saguna Brahma. Wilayah teologis ini dapat disebut sebagai wilayah semi antara Nirguna Brahma dan Saguna Brahma atau dapat disebut sebagai wilayah teologi Nir-saguna Brahma atau wilayah yang non-rasional tetapi dapat dideskripsikan secara rasional. Deskripsi ini termasuk dalam kawasan Tuhan yang tidak dapat dibayangkan, namun karena kebutuhan manusia, maka penjelasanpenjelasan di wilayah Saguna Brahma dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat deskripsi dan argumenasi teologi Nirguna Brahma (Donder, 2010:35). Dalam hal ini manusia boleh memahami Tuhan melalui atribut-atribut nama, warna, dan wujud sesuatu. Apapun nama yang ditujukan kepada Tuhan adalah simbol sekaligus bentuk, paling tidak dalam bentuk kata-kata. Chandra Bose (dalam Donder, 2010:37:) dalam karyanya yang berjudul The Call of Veda mengatakan bahwa nama Tuhan dalam pikiranpun adalah suatu simbol yang sama esensinya dengan gambar atau patung. Sesungguhnya teologi dari semua agama berada pada wilayah teologi ini. Jika saja hakikat teologi seperti ini dipahami oleh para pemeluk agama, maka tidak akan ada pertengkaran atau pelecehan agama oleh siapapun hanya karena perbedaan nama Tuhan yang dipujaNya. 

Saguna Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Berperibadi (D)

Donder (2010:38) menguraikan bahwa sesungguhnya apa yang disebut oleh teologi Barat sebagai teologi monotheisme berada pada wilayah teologi Saguna Brahma ini. Dalam monotheisme Barat ini, Tuhan dibayangkan sebagai laki-laki yang berada jauh (transendent) di suatu tempat yang disebut sorga. Dari tempat yang jauh itu, Tuhan menguasai dan mengurus alam semesta berserta seluruh ciptaan-Nya. Toynbee (dalam Madrasuta, 2010:17) menyatakan bahwa Tuhan Yang Esa dan transenden terpisah atau berada di luar universum. Selaras dengan Toynbee dalam Hindu, Tuhan sebagai personal God dilukiskan sebagai sosok manifestasi (para Deva) dengan fungsi atau tugas masing-masing sesuai dengan sifatNya. Dalam wilayah teologi Saguna Brahma (D), masih terdapat rasa enggan untuk mengeksplisitkan Tuhan yang personal sebagai yang benar-benar personal, karena di dalamnya masih ada berbagai pertimbangan termasuk juga memasukkan unsur Nirguna Brahma. 

Wilayah Saguna Brahma, Tuhan Berperibadi (E)

Di wilayah-wilayah teologis, maka teologi Saguna Brahma (E) atau teologi yang mengasumsikan Tuhan menggunakan berbagai macam atribut adalah wilayah teologi yang paling mudah untuk di dekati oleh nalar manusia. Nalar, atau akal menjadi sangat penting dan perlu dihargai (Donder, 2010:39). Suyono (2008:157) dalam Reformasi Teologi menyatakan bahwa ilmu Kalam (Teologi Islam) sejak awal berciri rasional-dialektis. Karena itu teologi Islam mampu berdialog dengan perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Abduh (dalam Suyono, 2008:171) menyatakan bahwa dalam Risalat, akal diakui sebagai kekuatan atau daya yang dapat membedakan manusia dengan mahluk lain. Dengan akal manusia dapat mengetahui baik hal-hal konkrit di alam ini yang harus terus diselidiki, dengan itu bisa menggapai keyakinan adanya Sang Pencipta maupun hal-hal yang abstrak seperti sifat-sifat Tuhan. Suyona (2008:172) menguraikan bahwa akal yang dimaksudkan di sini adalah akal yang berada pada derajat tinggi, bukan akal orang-orang awam. Tingkatan akal tertinggi yang mendapat limpahan dari Tuhan bisa menjadi pendukung dan penopang agama yang paling kokoh dan merupakan sumber keyakinan bagi iman yang benar. Sesuai sifat filsafat yang mengandalkan akal secara radikal, maka dalam filsafat Ketuhanan juga ada banyak cara melihat Tuhan.


Uraian Suyono dan Santoso penting dirujuk pada tulisan ini untuk menunjukkan bahwa keanekaragaman teologi di antara berbagai agama adalah suatu keniscayaan karena keanekaragaman itu lahir dari kemampuan akal manusia yang berbedabeda dalam menggambarkan yang transenden. Sehingga keanekaragaman teologi dalam satu agama juga merupakan suatu keniscayaan. Perbedaan teologi itu lahir dari tantangan nyata yang dialami oleh komunitas umat beragama. Dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan teologis yang dialami oleh umat beragama di berbagai tempat, ruang, dan waktu yang berbeda maka lahirlah perbedaanperbedaan teologi (Gbr.1 dan Gbr.2). Hal ini dapat menjelaskan keberadaan bermacam-macam teologi mulai dari praanimisme hingga monoteisme semuanya itu berguna bagi manusia. Semua bentuk teologi sebagai jawaban atas persolan teologis yang pada akhirnya dapat dikonsumsi oleh umat manusia sesuai dengan situasi dan kondisi atau perspektif tempat, ruang, dan waktu. Karena itu para tokoh umat harus menjadi teladan dalam menghargai perbedaan konsep teologis sesuai sloka Bhagavadgita III.21 dan Bhagavadgita III.26 (Krishna, 2015:163, 166).

Wilayah Tuhan Berperibadi (F)

Wilayah teologi Personal God (F) sebagaimana ditunjukkan pada Gbr.1 dan Gbr.2 di atas yang terhubung dengan kotak-kotak agama relevan dengan tesis Schuon tentang esoteris dan eksoteris. Hal itu menunjukkan bahwa setiap agama memiliki teologi sendiri (Donder, 2010:43). Objek teologi semua agama adalah sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, perbedaannya terletak pada prosedur epistemologisnya. Seharusnya setiap teologi agama sebagai sebuah ilmu pengetahuan ilmiah tidak membenturkan prosedur epistemologi yang memang berbeda. Sebuah perspektif pasti akan berbeda dengan perspektif yang lainnya. Hal terpenting yang harus dipertimbangkan adalah bahwa apapun pengetahuan teologi itu, harus bermanfaat sebesar-besarnya dalam mewujudkan rasa damai dan bahagia dalam kehidupan umat manusia. Itulah aksiologi yang terpenting dari teologi. 

Berdasarkan uraian di atas sangat jelaslah bahwa ontologi atau objek material teologi adalah Tuhan. Teologi berhadapan dengan objek yang sulit dideskripsikan, yaitu objektif yang bersifat melampaui realitas (super-realitas) atau nirguna. Walaupun demikian manusia dengan segenap akalnya berupaya agar dapat memuja Tuhan secara sungguhsungguh, maka manusia mencetuskan ide-ide metodologi yang dituangkan dalam prosedur teologi. Melalui prosedur tersebut Tuhan Yang Maha Abstrak atau Objek Yang Melampaui Realitas (superrealitas), direalisasikan melalui simbolsimbol yang berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang ada pada-Nya (saguna). 

Dengan demikain, Tuhan Yang Tak Terbatas, diberikan batasan-batasan tertentu demi kebutuhan manusia agar umat manusia dapat melaksanakan hubungan dengan Tuhan. Teologi apapun yang lahir melalui prosedur epistemologis sesuai dengan pandangan setiap agama adalah hal mulia karena teologi itu sangat membantu umat manusia dalam mewujudkan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan Yang Tak Terbatas tidak mudah dilaksanakan oleh manusia yang terbatas (Bhagavadgita XII.5), sebab para dewa dan para maharsi sekalipun tidak mengenal Tuhan dalam arti yang sebenar-Nya (Bhagavadgita X.2) sebagaimana kedua sloka Bhagavadgita tersebut telah dikutif di atas. Jadi kehadiran Tuhan dalam Saguna Brahma bersifat metodologis. Walaupun Tuhan dalam dimensi Saguna Brahma bersifat metodis, namun di dalamnya terdapat semua kebenaran absolut ‘mutlak tak terbantahkan’. 

Dalam masyarakat Hindu Bali, Teologi Saguna Brahman ini dimplementasikan dalam bentuk ritual yang beraneka macam, seperti ritual Labuh Gentuh (Sukabawa, 2014) bahkan ritual Tantik Ngerehang Barong (Subagia, 2015) dan berbagai ritual lainya seperti upacara pemujaan pada berbagai manifestasi Tuhan yang diekspresikan kepada segmen-segmen alam, termasuk kurban binatang ataupun animal sacrifice (Donder, 2012). 


KESIMPULAN 

Agama Hindu sebagaimana juga agama-agama lainnya, menyembah Tuhan Yang Maha Esa, persoalan pokok yang membedakan antara Hindu dan agamaagama lainnya adalah bahwa secara garis besarnya Hindu memiliki dua macam teologi, yaitu Teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang membahas tentang Tuhan yang tidak dapat disamakan dengan apa saja. Teologi jenis pertama ini bukan ditujukan kepada umat biasa. Teologi ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan spiritual yang mapan seperti para rsi, yogi atau para sufi. 

Dunia ini tidak hanya dihuni orang-orang yang mapan pengetahuan spiritualnya, tetapi juga orang-orang biasa. Teologi Saguna Brahman adalah teologi yang cocok untuk umat manusia pada umumnya. Teologi ini membolehkan manusia untuk membayangkan Tuhan Yang Tak Terbayangkan. Berdasarkan konsep Teologi Saguna Brahman inilah kemudian muncul konsep manifestasi Tuhan dan munculnya simbol-simbol religius untuk membantu manusia dalam mengatasi kesulitan membayangkan Tuhan. 

Menyadari adanya dua konsep teologi di atas, para tokoh agama harus menjadi teladan dalam menghargai perbedaan teologi setiap agama. Sikap ini penting karena apapun dilakukan oleh para tokoh akan diikuti oleh masyarakat dan bahkan oleh dunia.

Referensi:

Amin, M. Darori. Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti dalam Kesusastraan Islam Kejawen.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Kementerian Agama RI, 2011
Bose, A.C. The Call of Vedas. terj. I Wayan Maswinara. Surabaya: 2005
Donder, I Ketut. Panca Dhatu – Atom, Atma dan Animisme. Surabaya: Paramita, 2004
Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. Mengenal Agama-Agama. Surabaya: Paramita, 2010.
Donder, I Ketut dan I Ketut Wisarja. Teologi Sosial Perspektif Hindu. Surabaya: Paramita,
2013.
Donder, I Ketut. ”Logical Interpretation of Some Permofming Hindu Rituals.” Thesis
Philosophy Doctor. India: Department of Sanskrit, Faculty of Arts, Rabindra
Bharati University Kolkata, 2013.
Donder, I Ketut. Brahmavidya Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Paramita, 2006.
Donder, I Ketut. Teologi – Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita, 2010.
Donder, I Ketut. ”Agama dan Taman Bunga yang Indah,” Majalah Media Hindu, Februari
2015, hal.46-47.
Donder, I Ketut. “The Essence of Animal Sacrifice in Balinese Hindu Ritual: Discourse
Around Theological, Philosophical, Mythological, Ritual and Scientific Phenomenna”
International Journal Multidisciplinary Educational Recearchn, Vol. 1, Issue 4,
September 2012 p.1-27.
Donder, I Ketut. ”Pemikiran Swami Vivekananda Tentang Pluralisme Agama-Agama,”
Majalah Media Hindu, September 2011, hal. 32-33.
Donder, I Ketut.”Umat Hindu Mutlak Harus Memahami Teologi Hindu,” Majalah Media
Hindu, September 2008, hal.22-23.
Jelantik, Ida Ketut. Geguritan Sucita. Surabaya: Paramita, 1982
Krishnan, Anand, Bhagavad Gita Bagi Orang Modern. Cibubur: Centre for Vedic and
Dharmic Studies, 2015
Krishnan, Anand. Dvipantara Dharma Sastra-Sarasamuscaya, Slokantara, Sevaka Dharma.
Cibubur: Centre for Vedic and Dharmic Studies, 2015
Madrasuta, Ngakan Made. Tuhan Agama & Negara. Jakarta: Media Hindu, 2010
Pandit, Bansi. The Hindu Mind – Fundamentals of Hindu Religion and Philosophy for All
Ages. New Delhi: New Age Books, 2009
Pereira, Jose, Teologi Hindu. Ed. I Ketut Donder. Surabaya: Paramita, 2012.
Prasoon, Shikant. Hinduism Eternal Human Religion – Clarified and Simplified. Delhi:
Hindologi Book, 2009
Puja, I Gde. Bhagavadgita. Surabaya: Paramita, 2013
Puja, I Gde. Teologi Hindu (Brahma Widya), Surabaya: 1999.
Radhakrishnan, S. The Bhagavadgita. India: HarperCollin Publisher, 2014
Said, Edward W. Orientalisme – Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai
Subjek. Yogyakarta: 2010
Śaṅkarācārya. Brahma Sūtra Bhāṣya. Kolkata: Advaita Ashram,2011:
Saraswati, Swami Prakshānanda. Kebenaran Sejarah dan Agama Hindu, terj. I Ketut Donder.
Surabaya: World Hindu Parisad dan Paramita, 2014.
Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Subagia, I Made. “Ritual Tantrik Ngerehang Barong dan Rangda Di Desa Pakraman Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”, Disertasi Doktor Ilmu Agama.
Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma, 2014.
Sudharta, Tjok Rai dan I Wayan Sukabawa, ”Teo-Ekologi Caru Labuh Gentuh Di Jalan Tol
Bali Mandara Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”,Disertasi
Doktor Ilmu Agama. Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma, 2015
Suka Yasa, I Wayan. “Rasa: Daya Estetik – Religius Geguritan Sucita”, Disertasi Doktor
Linguistik. Denpasar: Pascasarjana Universitas Udayana, 2010.
Suka Yasa, I Wayan. “Omkara Pranawa: Aksara, Tattva, Sastra”, Penelitian Dosen Program
Doktor Universitas Hindu Indonesia, 2015. 
Suyono, H. Yusuf, Reformasi Teologi Muhammad QAbduh Vis ậ Vis Muhammad Iqbal.
Semarang: RaSAIL, 2008
Titib, I Made. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Hindu. Surabaya: Paramita, 2006
Wisasmaya, Ida Komang. Geguritan Sucita-Subudi Karya Besar Ida Ketut Jelantik. Surabaya:
Paramita, 2012




0 Response to "Teologi Hindu dan Kesalahpahaman terhadap Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel