Memperkuat Persatuan Dan Kesatuan Dalam Kebhinekaan Guna Mewujudkan Perdamaian

HINDUALUKTA -- Sejarah mencatat, bahwa terbentuknya Indonesia menjadi sebuah bangunan negara-bangsa (nation-state building) melalui dinamika sejarah yang cukup panjang. Berbagai riak-riak yang berlangsung di lingkungan masyarakat Indonesia, dan munculnya konflik yang bersifat multidimensi dapat mengarah pada sebuah ancaman pada kehidupan masyarakat Indonesia, jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini tentu berpengaruh pada isu-isu keamanan di masa sekarang, karena persoalan konflik, intoleransi, dan radikalisme yang terjadi dapat menjadi pemicu isu disintegrasi bangsa di Indonesia.
 Seminar Nasional dalam rangka perayaan hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1942 di Aula Gedeng A.H Nasution Lantai 16Kementerian Pertahanan, Sabtu 14 Maret 2020

Indonesia sebagai sebuah negeri kepulauan yang dkenal dengan Nusantara yang dihuni oleh penduduk yang majemuk, awal perkembangannya diduga telah dihuni oleh ras Austronesia yang berasal dari Asia Tenggara dan ras Melanesia yang dianggap berasal dari Afrika sebagai dua etnis yang cukup menonjol. Hingga saat sekarang, keberadaan mereka yang diwarnai dengan berbagai keragaman tradisi, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan di satu pihak, memang dapat menimbulkan persoalan kalau tidak berhasil ditata dengan baik. Namun di pihak yang lainnya, dapat menjadi sebuah kekayaan bangsa atau khazanah budaya bangsa (social and cultural capital) yang hendaknya dapat dipelihara dan dipertahankan menjadi warisan berharga bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikianlah para bapak pendiri bangsa (founding fathers), Soekarno dan Mohammad Hatta membangun bangsa yang beragam ini.

Soekarno yang mempunyai darah keturunan dari Bali menyadari benar bagaimana pentingnya kebhinekaan untuk sebuah negara yang akan dibentuk sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Kesadaran ini muncul ke permukaan, ketika ia mengalami berbagai pengalaman dalam perjuangannya ketika ia berada di penjara di Ende Pulau Flores. Soekarno berada di sana dan berdiskusi dengan para pastur yang ada dan kyai berkenaan dengan bagaimana negara yang akan dibentuknya. Demikian pula dengan Mohammad Hatta, memiliki kontribusi besar dalam pandangannya tentang kebhinekaan di Indonesia. Bung Hatta berkiprah dalam sebuah organisasi pergerakan nasional, dimana pengetahuan dan pengalaman selama di Belanda turut memberikan kontribusi pada ketokohannya sebagai seorang figur pemikir nasionalis (Ardhana, 2019d: 43—64, Dahm, 1999).

Dari sudut pandang pemikirannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Hatta misalnya menyatakan, bahwa terdapat tiga elemen mendasar yang hendaknya dipahami dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka yaitu hendaknya dilandasi pada adanya perwakilan rakyat yang dipilih secara demokratis, terjaminnya kemerdekaan berpendapat, dan terpupuknya solidaritas sosial. Mereka sangat menyadari betapa arti penting elemen dasar tersebut dalam hal ini misalnya masalah solidaritas sosial yang berkaitan dengan persoalan kebhinekaan yang dimiliki masyarakat Indonesia untuk dijadikan kekuatan dan ternyata mampu untuk dipergunakan untuk membangkitkan semangat kebersamaan (togetherness), sehingga proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tentu kesadaran yang sudah dimiliki ini telah melalui berbagai pengorbanan sebagai sebuah bangsa yang memiliki nasib yang sama ketika berhadapan dengan kekuasaan penjajahan asing di bumi Nusantara. Dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik yang dilalui itu telah mampu membangkitkan perasaan senasib dan sepenanggungan yang mempunyai arti yang signifikan dalam kaitannya dengan terbentuknya Keindonesiaan itu. Oleh karena itu, bagaimana pentingnya upaya untuk mempertahankan, memupuk kesadaran berbangsa dan bernegara yang sudah diraih serta menumbuhkembangkannya ke generasi berikutnya, sehingga pembanguan manusia Indonesia yang berkeadilan, aman, damai dapat berlangsung di masa kini dan di masa depan.

II. Hindu dan Jalinan KeIndonesiaan: Proses Sejarah dan Migrasi

Bukti-bukti arkeologi dan kesejarahan menunjukkan, bahwa sebelum datangnya pengaruh luar, baik dari India dan Tiongkok sebagai dua wilayah yang banyak mempengaruhi dunia Kepulauan Nusantara, telah ada apa yang disebut dengan kebudayaan lokal atau kebudayaan dasar (basic culture) yang dalam tradisi kepercayaan masyarakat lokal disimbulkan dengan seekor naga, sebagaimana tradisi ini dikenal juga baik di India, maupun di Tiongkok (Geldern, 1956).

Kebudayaan lokal atau local genius tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai yang ada sebelum masuknya agama-agama seperti kepercayaan animisme dan dinamisme. Meskipun perbedaannya tampak pada nama-nama lokal yang diberikan pada kepercayaan mereka itu, namun memiliki persamaanpersamaan dalam kaitannya konsep spiritualisme. Kekayaan budaya lokal ini menjadi fondasi kuat dan terus berkembang hingga sekarang (Koentjaraningrat, 1986: 89), yang masih dapat dilacak keberadaannya di masing-masing masyarakat lokal di wilayah Nusantara (Gust 1994, Creese, 2003, dan Ardhana, 2018). Inilah menjadi dasar-dasar kebudayaan di masing-masing etnis yang ada di Indonesia sekarang ini. Oleh karena itu, betapa pentingnya melihat perkembangan yang ada pada era ini terutama dalam konteks dinamika masyarakat pada masa prasejarah dimana nilai-nilai kebersamaan atau gotong royong sudah mulai ditemukan sebagaimana tampak pada tinggalan-tinggalan arkeologi dan sejarah awal itu. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat di Nusantara di masa lalu dapat dilihat pada tiga fase perkembangan sebagaimana dikemukakan oleh Wolters (1982) yaitu perkembangan masyarakat pada lokalitas tertentu ((prehistory to ancient history), kedua adanya pendirian kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri yang tidak memiliki hubungan satu sama lain (traditional era). Pada masa sejarah klasik ini dapat dilihat bagaimana terjadinya pernikahan antara Raja Udayana yang berasal dari Bali dengan seorang putri dari Jawa Tengah atau cicit dari Mpu Sindok. Dalam era kekuasaan raja suami istri ini dikemukakan adanya penyatuan ideologi religiusitas antara Shiwa dan Budha seperti yang dilakukan di Pura Samuan Tiga di Gianyar.

Mpu Tantular menulis dalam Kakawin Sutasoma berkaitan dengan konsep multikulturalisme di Bali yang sudah berakar sejak lama sebagai berikut (Ardhana, 2018):

“Rwaneka dhatu winuwus war-a Budha
Wiswa Bhineka rakwa ringapan kena
Parwanosen, mangkang jinatwa kalawan
Siwatwa tunggal
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangra”

Konsep multikulturalisme ini di Bali dikenal dengan konsep Rwa bhineda yang mana kemudian muncul konsep ideologi kesatuan dalam keragaman (unity and diversity) tampaknya menjadi pedoman yang kuat bagi masyarakat di Indonesia.

Ketiga, era emporium yang dilakukan pada masa Majapahit, hingga masuknya kemudian masa modern (modern history). Dengan berakhirnya kerajaan Majapahit, ini tidak berarti bahwa proses perkembangan kebudayaan atau indigenisasi budaya berhenti, melainkan tetap berlanjut sampai ke Jawa Tengah, sebagaimana dapat dilihat dengan dibangunnya struktur arsitektur candi di Candi Cetho yang memiliki kemiripan dengan Pura Besakih di Bali. Selain itu, pada masa tersebut dibangun pula Candi Sukuh yang keduanya berlokasi di Karanganyar di Jawa Tengah (Kieven, 2014, Stuart-Fox, 2010, lihat juga: Ardhana, 2017: 57)

Pada tahap perkembangan di lokalitas tertentu, misalnya, dapat dilihat munculnya kerajaan Hindu yang pertama di Kutai, Kalimantan Timur. Tidak banyak studi yang melakukan pembahasan berkaitan dengan mengapa kerajaan Hindu pertama muncul di Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan pada abad ke-4. Dari sebuah pandangan India menyebutkan, bahwa ketika Indianisasi atau Hinduisasi yang berlangsung itu, di Selat Malaka, Selat Sunda misalnya diduga terdapat banyak muncul perompakan-perompak (pirates) di kawasan itu, sehingga tidak nyaman mendirikan pusat kerajaan Hindu I di sekitar wilayah tersebut. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya baru muncul kerajaan Hindu lainnya seperti Tarumanegara di Jawa Barat, diikuti dengan munculnya Sanjaya yang diduga aliran Hinduisme dan Syailandra beraliran Buddha di Jawa Tengah, kemudian perkembangan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Bahkan, pada masa kerajaan Sriwijaya ini disebutkan banyaknya pendeta-pendeta Budha dari Tiongkok yang datang ke Sriwijaya untuk belajar agama Budha di Kerajaan Sriwijaya sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke India yang berlangsun sekitar abad ke-7 dan ke-8. Hingga kemudian dengan adanya penyebaran kebudayaan Hindu dari Jawa Tengah ke di Jawa Timur yang dikenal dengan masa klasik (classical history) seperti munculmya Kerajaan Kediri, Singasari dan mencapai puncaknya pada masa kerajaan Majapahit. Namun demikian, pada masa Singasari munculnya pasukan Tiongkok untuk melakukan penaklukkan terhadap kerajaan Singasari itu, namun tampak tidak berhasil. Ini berarti, bahwa ada keinginan untuk mengadakan perdagangan dan relasi sosial budaya dan politik juga dilakukan, meskipun dalam beberapa hal mengalami kegagalan seperti datangnya pasukan Kubhilai Khan pada masa Kerajaan Singosari.

Pada tahap perkembangan selanjutnya dimana Kerajaan Majapahit mencapai puncaknya muncul upaya mengadakan perluasan (emporium) tampak berlangsung sebagaimana dapat dilihat pengaruhnya sampai di Bali, Kepulauan Nusa Tenggara seperti Timor, Galiyao, Sumba, Solot (Solor), Taliwang, Dompu, Sapi, Sanghyang Api dan Bhima (Bima) (Pigeaud, 1960: 407, Ardhana, 1999: 2000, 37). Bahkan, kemudian sampai ke wilayah lainnya di Kepulauan Nusantara, sesuai dengan semangat Sumpah Palapa yang disampaikan oleh Patih Gajah Mada. Apa yang dilakukan oleh raja-raja Majapahit yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada tentu tidak terlepas dari terjadinya persebaran kebudayaan Jawa Hindu di bawah pengaruh Majapahit di wilayah lainnya di Indonesia (Robson, 1995). Kemunculan upaya untuk melakukan adopsi dan adaptasi budaya yang datang dari luar di masing-masing masyarakat lokal di Bali misalnya tampak terjadi. Tidak mengherankan jika, terjadi persebaran etnis dan agama dari wilayah yang satu ke wilayah yang lainnya juga misalnya terjadinya komunitas Hindu di Pulau Kei yang menganggap nenek moyang mereka yang berasal dari Bali.

Abad ke-16 (tahun 1511), misalnya ketika Malakka menjadi pusat perkembangan di Asia Tenggara sebagaimana dicatat oleh Tome Pires menyebutkan bahwa telah terjadi pertemuan berbagai etnis di kawasan Samudra Hindia (India Ocean) seperti etnis Melayu, Jawa dan berbagai agama seperti Hindu, Budha, Islam di Malaka yang dilalui oleh para pedagang dari seluruh kepulauan Nusantara yang singgah di Malaka sebelum melanjutkan perjalanan perdagangan dari wilayah timur Nusantara menuju wilayah Barat Nusantara atau sebaliknya. Kawasan Samudra Hindia ini menjadi signifikan untuk dijadikan sentra kajian dalam kaitannya dengan bagaimana kontak berbagai budaya dunia berlangsung sehingga merajut relasi sosial budaya, ekonomi dan politik antara dunia Barat dan Timur. Jalinan budaya yang tercipta ini telah memperkaya dan memperkuat akar-akar budaya (basic culture) yang sudah ada sebelumnya yang dikenal dengan konsep tradisionalisme antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Ketika pengaruh selain Hindu, Budha, Confusiansime (Kong Hu Cu), Islam, Keristen, Katholik mulai menyentuh masyarakat Indonesia tampak membentuk jalinan budaya masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya di Kepulauan Nusantara.

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa perkembangan kebudayaan pada saat itu masih berpusat pada pusat-pusat kekuasaan kerajaan. Misalnya adanya konsep kuta negara, negara agung, mancanegara dan sebagainya menandai bagaimana pentingnya wilayah pusat daripada wilayah yang ada di luarnya. Demikian yang terjadi pada umumnya di wilayah Nusantara, dan di Bali pada khususnya, dimana pada masa-masa kerajaan di Bali saat itu, masih menerapkan sistemprimordialisme, yang dikenal juga dengan sistem pemerintahan galaksi, “galactic polity”. Pada masa kerajaan-kerajaan inilah dapat dilihat bagaimana terjadi permasalahan yang berkaitan dengan perbudakan (slavery) dan mesatya, yang secara intens dilakukan pada abad ke-17 hingga sampai permulaan abad ke-20 yaitu empat tahun (1902) menjelang terjadinya peristiwa heroik yang dikenal dengan Puputan Badung (1906) (Ardhana, 1994). Budak Bali, sangat dikenal karena fisiknya yang kuat, jujur, sehingga seorang budak Bali mencapai harga yang cukup tinggi dan dibawa ke Batavia sebagaimana dengan kisah Untung Surapati yang dikenal sebagai seorang budak dari Bali. Tidak diketahui secara mendalam, bagaimana proses perbudakan ini dalam kaitannya dengan proses migrasi yang berlangsung saat itu. Namun paling tidak adanya istilah Kampoeng Bali di wilayah Kroekoet pada abad ke-17 di Batavia (sekarang: Jakarta) tidak terlepas dari perkembangan kesejarahan ini terutama dalam kaitannya dengan terbentuknya masyarakat multikultur di Jakarta. Dengan demikian, terbentuknya masyarakat multikultural ini dapat dijelaskan melalui proses sejarah dan migrasi yang sudah berlangsung cukup lama itu tidak hanya di Jakarta, tetapi juga wilayah lainnya di Indonesia. Ini dapat dipahami berkaitan dengan terjadinya awal terbentuknya komunitas Muslim di wilayah Karangasem misalnya yang dimulai dengan datangnya para kawula atau budak untuk dipekerjakan di istana kerajaan di puri yang terletak di sebelah timur Bali ini. Demikian pula halnya dengan komunitas Muslim di wilayah Candikuning Singaraja yang masih mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari Karangasem. Ini terjadi sebagai akibat proses sejarah dan migrasi yang berlangsung ketika Karangasem menguasai Lombok pada masa sebelumnya (baca: Rieger, 2014: 206, cf. Pedersen, 2014).

Ketika masuknya penjajahan Belanda di Indonesia pada umumnya, dan di Bali pada khususnya, tampak proses migrasi berlangsung secara intens, terutama ketika Belanda merekrut para serdadunya yang terdiri dari berbagai etnis seperti etnis Jawa, Madura, Bugis, Menado, dan Timor pada abad ke-19 dan awal abad ke- 20 dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan eksistensi mereka di Hindia Belanda. Selain itu, melalui berbagai kebijakan Belanda yang memberi kontribusi pada aspek penyebarluasan agama Keristen kepada penduduk setempat (Dhana, 2014: 244—256). Tidak mengherankan, jika dikatakan bahwa terbentuknya multikulturalisme ini juga berlangsung berkaitan dengan kebijakan Belanda di wilayah jajahanya.

Dari proses ini dapat dipahami bagaimana terbentuknya awal-awal penyebaran etnis Bali tidak hanya di Batavia, tetapi juga di wilayah lainnya di Kepulauan Nusantara. Dengan keadaan ini dapat dipahami bagaimana perlunya memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap terbentuknya masyarakat multikultur melalui aspek sejarah dan migrasi yang sudah berlangsung cukup lama.

III. Etnisitas, Identitas dan Nasionalisme

Tahun 1980-an dan 1990-an merupakan era dimana terjadi eksplosi publikasi yang berkaitan dengan etnisitas dan nasionalisme, terutama dalam lapangan ilmu politik, sejarah, sosiologi, dan antropologi sosial. Terbitan yang muncul ini bisa jadi parallel dengan kajian-kajian yang berkaitan dengan globalisasi, identitas, dan etnisitas dimana etnisitas itu misalnya muncul sebagai hasil dari perbedaanperbedaan kebudayaan (Eriksen, 1993).

Dengan melihat dinamika yang terjadi di kepulauan Nusantara, tampak bagaimana proses sejarah dan migrasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang mengarah pada fase terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia. Konsep etnisitas merupakan konsep yang dimiliki sebuah kelompok masyarakat yang dijadikan panutan oleh anggota kelompoknya masing-masing. Masing-masing kelompok etnik memiliki indikator budaya (cultural identities) yang mengikat keanggotaan mereka berdasarkan nilai-nilai adiluhung yang telah disepakati dan diperoleh secara turun temurun. Namun demikian, konsep identitas ini bersifat cair (fluid), dinegosiasikan (negotiated), dikontestasi (contested), dan dikonstruksikan (constructed) berdasarkan situasi dan kondisi mereka di wilayah yang didatanginya. Beberapa tulisan mendukung argumentasi ini dimana identitas budaya dikontruksi tergantung konteks dan situasi (Lihat: Eriksen, 1993, Kahn, 1995; Maunati dan Sari, 2014; Yu dan Jing, 2015; lihat juga: Schaublin dan Harnish, 2014, Ardhana, 2004).

Konsep identitas itu tidaklah bersifat permanen, tetapi dapat mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika yang terjadi di sebuah tempat. Jalinan KeIndonesian yang terjadi sejak lama melalui jalur perdagangan dengan penggunaan bahasa Melayu (Malay Language) sebagai lingua franca, dan adanya kesamaan tradisi dan budaya pada masyarakat yang memiliki budaya tradisional di Kepulauan Indonesia menjadi benih-benih yang dapat dijadikan landasan untuk membentuk masyarakat multikultur dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa kontestasi dan multilayers. Artinya, masyarakat Indonesia dapat memiliki identitas nasional sebagai orang Indonesia. Di satu sisi, mereka memiliki identitas budaya (cultural identity), sebagai orang Jawa, orang Sunda, dan di sisi yang lainnya mereka memiliki identitas nasional (national identity atau nationalism) sebagai orang Indonesia (Ardhana, 2007b). Oleh karena itu, identitas KeIndonesian ini selalu perlu dipelihara dan dipromosikan untuk menjalin persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia.

Terbentuknya masyarakat multikultural di Bali berawal adanya kontak-kontak dengan dunia luar (Ardhana, 2011). Pengaruh budaya Tiongkok dan India tampakberlangsung sejak awal abad-abad Masehi. Pengaruh budaya Tiongkok dan India (Indianisasi atau Hinduisasi) dapat dilihat dengan adanya penyebaran agama Hindu dan Budha. Diduga, bahwa penyebaran agama Budha lebih dahulu dibandingkan dengan agama Hindu di Bali. Hingga saat ini, masih dapat dilihat adanya relasi sosial budaya antara etnis Bali dan Tiongkok seperti dapat dilihat dengan adanya pemujaan kepada Dewi Kuan Yin di Pura Batur, di Kintamani Bangli. Tampak ideologi Tiongkok ditanamkan pengaruhnya di pura di Bali misalnya di Pura Ulun Danu Batur dengan ditemukan bangunan pelinggih yang didedikasikan untuk komunitas Tiongkok yang dikenal sebagai syahbandar pada masa lalu. Karena terjadinya kawin mawin atau amalgamasi etnis Bali dengan Tiongkok pada zaman Bali Kuna (Classical Balinese History), maka tidak mengherankan jika masih terdapat tradisi Tarian Barong Landung yang menjelaskan relasi antar etnis Tionghoa dan Bali (Gottowik, 2005; lihat juga, Sutjiati Beratha dan Ardika, 2014).

Berdasarkan catatan sejarah, relasi yang terjadi antara penduduk lokal dengan etnis Tionghoa sebenarnya sudah berlangsung cukup lama di awal-awal abad Masehi. Relasi antar etnis Bali dengan etnis Tionghoa sudah berjalan dengan baik, dan tidak menimbulkan gejolak-gejolak di masyarakat, melainkan dapat hidup secara rukun dan harmonis. Oleh karena itu, pemujaan antara etnis Bali yang beragama Hindu dengan etnis Tionghoa yang dilakukan di tempat persembahyangan di pura juga tidak menimbulkan persoalan-persoalan. Bentukbentuk multikulturalisme itu masih terlihat dengan jelas sampai sekarang, yaitu dengan adanya pemujaan pada sebuah pelinggih (shrine) di sekitar Danau Baturyang menurut kepercayaan setempat dikaitkan dengan pemujaan terhadap Dewi Kuan Yin, sebuah kepercayaan dewa di Tiongkok yang tampaknya juga menyebar di Bali yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama dalam tradisi sejarah multikultural Bali. Selain itu, di Bali Utara dan wilayah pedalaman di sekitar Danau Batur, terjadi relasi sosial, budaya, ekonomi yang kuat dengan pedagang-pedagang asing yang dikenal dengan Wong Nusantara atau disebut juga sebagai Wong Sunantara, antara lain etnis Tionghoa (“Syahbandar Cina”), Sunda (Jawa Barat), Melayu, Mekah (Arab), dan dari Keling (India). Hal inimembuktikan dengan adanya temuan tempat persembahyangan yaitu sebuah pura pinggir di pantai di Bali Utara yaitu daerah Kubutambahan, “Pura Kertanegara” atau dikenal dengan “Pura Gara” atau “Pura Gambur Ngalayang”. Dalam satu area pura itu ditemukan juga pura yang diabadikan untuk Ratu Sundawan, Ratu Mekah, Ratu Melayu, Ratu Ayu Syahbandar, dan Ratu Sakti Bali (Pageh, 2018). Dengan adanya pemujaan ini membuktikan, bahwa konsep multikulturalisme yang berlandaskan kerukunan sudah sejak lama berlangsung antara etnis Bali dengan etnis lainnya seperti dari Tiongkok, Arab, Melayu, dan Sunda. Selain itu, di Pujungan, terdapat cerita rakyat (folklore) yang menyebutkan, bahwa seorang raja yang menikah dengan puteri seorang syahbandar di Sarijong terletak di sekitar Pantai Soka. Dalam kaitan ini, kemungkinan ada kaitannya antara Pura Rambut Siwi dengan cerita rakyat tersebut, sehingga Pura Rambut Siwi dikatakan sebagai Pura Danghyang Kahyangan (Danghyang Nirartha) (Pageh, 2018: 37). Ini menandakan, bahwa relasi sosial, budaya, ekonomi antara etnis Bali dengan Tionghoa masih berlangsung cukup kuat hingga masa modern sekarang ini. Namun ini tidak berarti, bahwa tidak terjadi hubungan antara etnis Tionghoa dengan Islam misalnya, sebagaimana yang terjadi di tempat lainnya di Indonesia. Menurut Hew Wai Weng (2019) mencatat, bahwa politik kultural kaum Tionghoa Muslim di Indonesia dalam pergulatan identitas ketionghoaan dan keislamannya tidaklah berdampak pada segregasi sosial dan eksklusi religious. Dari pembahasan ini dapat dilihat dengan jelas, bagaimana nilai-nilai menuju KeIndonesian pada masa yang cukup panjang sudah mulai dirajut terutama dalam kaitannya dengan bagaimana nilai-nilai persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa tampak sudah dilakukan di Bali

Dinamika masyarakat di bidang sosial budaya, khususnya dalam kaitannya dengan masalah keagamaan tampak berkembang sebagaimana mestinya, meskipun saat itu penguasa kolonial Belanda telah datang dan mulai melibatkan peranannya di bidang eonomi dan perdagangan di negeri jajahanya sejak abad ke-16. Memang telah terbentuk adanya kerajaan, kesultanan di Indonesia yang masih memiliki otonominya sendiri-sendiri secara kuat pada abad ke-17 dan abad ke-18. Tidak mengherankan, jika ada relasi-relasi yang terjadi antara kerajaan satu dengan yang lainnya seperti antara Mengwi dan Blambangan dan kemudian antara kerajaan Karangasem Bali dengan Lombok di Mataram yang berpengaruh terhadap mulai masuknya etnis Sasak sebagai kawula di istana kerajaan hingga saat ini. Relasi yang terjadi ini menyebabkan terjadinya migrasi penduduk etnis Bali ke Lombok, dan sebaliknya dan juga etnis Bali ke Jawa Timur, ketika dikenalnya Pantai Seseh di wilayah Mengwi sebagai pantai pelabuhan Kerajaan Mengwi pada abad ke-17.

Belanda menyaksikan bagaimana relasi tersebut berlangsung. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan bagaimana etnis tersebut dalam menggunakan agama sebagai sebuah ideologi gerakan tampaknya Belanda memperhatikan dengan sikap hatihati. Ini artinya sikap pemerintah Belanda akan bersikap soft atau lunak, jika kegiatan masyarakat dalam lapangan sosial budaya, namun akan bersikap hard atau keras apabila ditemukan bukti-bukti yang dapat menggoyahkan kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Pandangan Belanda yang melihat perkembangan di Bali tampaknya tidak akan mengancam posisi mereka. Inilah alasannya mengapa diterapkannya politik Baliseering dalam upaya menjaga keutuhan adat dan agama Hindu yang ada di Bali, yang sudah tentu dalam konteks kebijakan pemerintah Belanda. Ini dilakukan mengingat, adanya ancaman sebagai dampak negative dari globalisasi yang ditengarai akan dapat merusak adat agama Hindu yang ada di Bali, sehingga di era paska kemerdekaan, terutama setelah Era Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 yang muncul dengan konsep Ajeg Bali (Rieger, 2013: 203).

IV. Konsep Multikultural, Harmoni Sosial, dan Pancasila

Berbicara tentang konsep masyarakat multikultural sebenarnya tidak terlepas dari pembahasan dari adanya relasi antara konsep konflik dan harmoni, mayoritas dan minoritas yang mencirikan bagaimana dinamika sebuah masyarakat yang sedang berkembang. Dalam konteks ini, bagaimana pun kecilnya kelompok minoritas itu, perlu dihargai dan mendapat perlindungan oleh negara di masyarakat. Meskipun demikian, dalam kenyataannya tidaklah berjalan lancar, karena dalam konteks dinamika politik, seringkali persoalan etnisitas dan identitas dinegosiasikan terutama dalam konteks gerakan-gerakan sosial pada umumnya. Persoalan tersebut tidak hanya menjadi isu penting di masyarakat Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya, walaupun intensitasnya agak berbeda seperti di negara-negara yang tingkat pelaksanaan demokrasinya lebih mapan.

Menarik untuk melihat bagaimana terjadinya perkembangan masyarakat multikultural di berbagai belahan dunia. Dilihat dari bentuk atau tipologi masyarakat multikultural di dunia, Alf Mintzel (1997) dalam bukunya yang berjudul, Multikulturelle Gesselschaften in Europa und Nordamerika: Konsepte, Streitfragen, Analysen, Befunde (Masyarakat Multibudaya di Eropa dan Amerika Utara: Konsep, Pembahasan dan Temuan) mengelompokkan adanya tipologi masyarakat multikultur menjadi delapan (8) kelompok utama (lihat juga: Ardhana, 2002: 127).

  1. Kelompok yang termasuk kategori daerah-daerah yang luas, multi etnik, dan masyarakat yang terbentuk berdasarkan kebijakan imigrasi multikultural dan multietnis di USA dan Kanada.
  2. Kelompok yang terdapat di negeri-negeri di Eropa Barat Daya dan Eropa Barat yang telah menerima karakter masyarakat multikultural dan multietnis sebagai akibat kebijakan kekuasaan kolonial mereka sebelumnya yang dilakukan melalui kebijakan migrasi, baik pada masa kolonial dan postkolonial.
  3. Kategori yang termasuk negeri-negeri Eropa Daratan yang terjadi sebagai akibat adanya mobilitas sosial secara regional melalui relasi politik yang terjadi pada masa lalu dan kekinian sehingga terbentuk masyarakat multikultural dan multi etnis.
  4. Kategori yang terbentuk melalui migrasi dan mobilitas sosial secara aktual yang membentuk masyarakat multikultural berdasarkan imigrasi, negeri-negeri Eropa yang sudah berkembang maju seperti Jerman, Australia, dan Swiss.
  5. Masyarakat multibudaya yang terbentuk berdasarkan budaya Indian, Amerika Selatan, dan kebudayaan Iberno-Roma antara lain Mexico, Bolinesia, Peru dan Equador.
  6. Masyarakat multikultural dan multietnis di luar Benua Eropa seperti Asia Tengah, dan Asia Tenggara antara lain Malaysia dan Indonesia.
  7. Masyarakat migrasi Inggris (Eropa) di Benua Australia yang terbentuk secara khusus.
  8. Masyarakat multikultural dan multietnis di Benua Afrika seperti Republik Afrika Selatan dan masyarakat asli Afrika.

Sebagaimana dimodifikasi dari pandangan Mintzel tersebut dapat dikatakan bahwa Indonesia termasuk kelompok yang nomor 6, dimana dilihat dari sudut pandang migrasi dan sejarahnya, masyarakat Indonesia memiliki kesamaan tradisi dan budaya yang sama, meskipun masyarakat Indonesia memiliki agama yang berbeda dibandingkan satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini, mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam khususnya yang termasuk sebagai “Islam Lokal” yang berseberangan dengan “Islam Fundamental” (Lihat: Suaedy, 2018), namun mereka ini memiliki tradisi budaya yang sangat mengapresiasi perbedaan dalam kaitannya dengan tradisi lokal dan agama-agama lain yang diakui resmi di Indonesia (cf. Ramstedt, 2004).

Aspek sejarah dan migrasi dapat menjelaskan eksistensi masyarakat multikultural di sebuah tempat di Nusantara. Kehadiran etnis Bali yang beragama Hindu di wilayah lainnya seperti di Manado, Lampung, Palu untuk menyebutkan beberapa di antaranya sebagai akibat adanya kebijakan transmigrasi yang disebabkan oleh Gunung Agung yang meletus pada tahun 1963. Ini tampak memainkan peran signifikan dalam kaitannya dengan terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia (Ardhana, 2019c), yaitu dengan munculnya desa-desa baru (enclave) di wilayah tersebut (Ardhana, 2019c: 229).

Di Bali misalnya sebagaimana wilayah lainnya di Indonesia, tampak etnis Bali yang menganut adat dan agama Hindu yang kuat tampak dapat hidup saling berdampingan dengan etnis-etnis lainnya yang datang kemudian secara harmonis, meskipun di beberapa tempat lainnya itu tampak masalah riak-riak kecil tidak dapat dihindari (Budiwanti, 2014: 144—160). Seringkali riak-riak sosial yang terjadi dapat mengarah munculnya konflik horizontal dan vertikal di masyarakat yang pada mulanya bukanlah masalah agama semata. Akan tetapi, lebih disebabkan oleh adanya ruang kontestasi politik dan ekonomi yang bersifat terbuka, sehingga menimbulkam ketegangan budaya (cultural distorsion). Tidak mengherankan, jika agama yang pada haketnya mengandung pesan damai dapat mengalami eskalasi ke arah konflik yang muncul di masyarakat (Eko Putro, 2017). Lene Pedersen dalam karyanya yang berjudul “Keeping the Peace:Interdependence and Narratives of Tolerance in Hindu-Muslim Relationship in Eastern Bali”, mencatat bagaimana signifikannya peranan pemuka desa atau tokoh adat dan agama dalam memberikan alternatif solusi terhadap konflik yang terjadi (2014: 181). Pedersen mencatat sebagai berikut:

One Muslim leader in Tengah recounted the process: “Say there is a flare up among young people, well we sit down together, have a meeting between Hindu village leaders and the leaders of the mosque. No one is elevated over anyone else where we sit together, I before Allah, he before Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Muhsin). He explained, “We try both to forgive each other, such that the one in the right does not feel righteous and the one in the wrong does not feel cornered or contemptible. We just say that the person has not yet understood.

Seorang Pimpinan Umat Islam di Tengah menceritakan kembali proses itu: “Katakanlah ada gejolak di antara orang-orang muda, yah kita turun bersama, mengadakan pertemuan antara pemimpin desa Hindu dan pemimpin masjid. Tidak ada yang lebih tinggi dari orang lain di mana kita duduk bersama, saya di hadapan Allah, dia di depan Ida Sang Yang Widhi Wasa (Muhsin). Dia menjelaskan.”Kita berdua mencoba untuk memaafkan satu sama lain, sedemikian rupa sehingga orang yang benar tidak merasa benar dan orang yang salah tidak merasa tersudut atau dihina. Kita hanya berkata bahwa orang itu belum mengerti.

Pedersen menyimpulkan bahwa pertama, bagaimana peran tokoh adat dan agama memediasi sebuah suasana kedamaian (a peaceful coexistence) diantara kelompok yang berkonflik, yaitu pertama kelompok Muslim dan Hindu yang menganggap diri mereka sebagai orang yang beragama (people of religion) dan dapat memilih untuk menekankan kesamaan-kesamaan yang dimiliki mereka berkaitan denganagama yang dianutnya. Kedua, mereka membangun sebuah sejarah lokal yang berkaitan dengan hubungan yang harmonis dan rukun (good connection), sebuah kepercayaan yang dibangun bersama (a shared myth) yang
membuktikan pentingnya tokoh-tokoh berpengaruh (charismatic leaders) dalam melakukan negosiasi dalam hubungan atau relasi kontemporer yang berlangsung di masyarakat (Pedersen, 2014: 181--182).

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa berbagai upaya sudah dilakukan misalnya dengan revitalisasi tradisi dalam kaitannya dengan proses dialog, negosiasi antara kelompok yang mengalami permasalahan di masyarakat (Najib Burhani, 2019: 121-143). Persoalan ini muncul sebagai akibat adanya persoalan kesenjangan ekonomi, keterbelakangan sebagai dampak dari pengaruh globalisasi yang hendaknya dapat diantisipasi dengan baik (sustainable conflict management) (Lihat: Sugiyarto dan Arif, 2016, lihat juga: Ardhana, 2007a: 51--60). Walaupun demikian, diperlukan pula pembuatan pemetaan budaya (cultural mapping) yang diharapkan dapat mengurangi eskalasi konflik, jika terjadi di masyarakat (Pillai, 2013). Apabila proses-proses penyelesaian konflik dapat diselesaikan menuju kerukunan (social harmony), maka diharapkan dapat memberikan solusi terhadap tantangan kebhinekaan masyarakat Indonesia tidak hanya pada masa kini, tetapi juga pada masa yang akan datang.

Dengan terjadinya migrasi etnis Bali ke wilayah lain, atau migrasi etnis nonBali ke Bali melalui program transmigrasi yang dilaksanakannya sebenarnya memperkuat keberadaan masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika. Dengan kata lain, bahwa tidak ada sebuah wilayah di Indonesia yang hanya bersifat monoculture dengan pengertian hanya dihuni oleh satu etnis terterntu, melainkan sebagai sebuah masyarakat multiculture (unity in diversity). Dalam praktek kehidupan multikulturalisme di Bali dapat dilihat adanya pengungkapan istilah Menyama Selam (Islam) Menyama Bali, Menyama Keristen dan Menyama Bali sebagaimana diterapkan pada kehidupan bersama dalam mengelola subak dalam kaitannya dengan sistem pertanian tradisional di Bali yang sudah mengakar sejak lama secara turun temurun. Konsep menyamabraya ini merupakan cara pandang persaudaraan dan kekeluargaan dalam menjaga kerukunan dalam masyarakat yang multikultur di Bali (Ardhana, 2017c). Sebagaimana dikatakan oleh Rieger, (2014: 206—207) “Being Muslim Balinese: An Alternative Perspective on Citizenship?” dapat dipahami adanya keinginan akan adanya pengakuan keanggotaan untuk menjadi seorang warga Bali. Pengakuan ini mengisyaratkan adanya rasa persaudaraan yang memiliki makna mendalam dimana relasi-relasi yang terjalin akan memperkuat kerukunan, toleransi yang harmonis (social harmony) (Lihat lebih jauh: Pedersen, 2014: 179). Adanya konsep yang dimiliki oleh masyarakat di Bali seperti konsep Nyama Kampung, Suku Nyama Selam, Nyama Selam Menyama Bali, dan adanya perkawinan saling seluk atau saling mengambil untuk dijadikan istri atau suami, baik dari pihak yang beragama Hindu, maupun yang beragama non Hindu menunjukkan secara jelas adanya pengejawantahan dari sila ketiga dari Pancasila yaitu persatuan Indonesia sebagai suatu modal sosial dan budaya (social and cultural capital) yang kuat.

Saat ini, praktek-praktek kebhinekaan masih tetap dilakukan di Bali. Banyak pura yang mengadopsi bagaimana nilai-nilai kebhinekaan dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Pendirian bangunan suci yang dikenal dengan Puja Mandala yang berarti sebuah simbol toleransi atau sebagai sebuah miniatur harmoni beragama dibangun pada tahun 1994. Puja Mandala ini memiliki luas sekitar 2,5 hektar yang terletak di wilayah menuju ke Nusa Dua di Kabupaten Badung. Di Puja Mandala ini dapat dilihat keberadaan tempat ibadah yang tidak memiliki batas-batas yang dibuat antara bangunan satu dengan yang lainnya. Ini mencerminkan bagaimana pura Hindu yang letaknya bersebelahan dengan bangunan suci lainnya seperti Mesjid, Gereja Keristen, Vihara Budha, dan Gereja Katholik, secara berdampingan (Darma Putra, 2014: 330--352).

Keberadaan bangunan-bangunan suci ini menandakan, bahwa hubungan antar umat beragama di Bali berjalan dengan harmonis. Oleh karena itu, pendidikan yang berkaitan dengan penguatan nilai-nilai toleransi dalam kaitannya dengan masalah kehidupan beragama hendaknya mulai sejak dini dikembangkan di tingkat keluarga masing-masing. Ini dipandang penting mengingat sumber nilainilai agama itu dapat juga diangkat dari cerita rakyat daerah (folklore) (Tarobin, 2017) Dengan demikian, empati pada sesama, meskipun memiliki perbedaan tradisi, bahasa, agama dan etnisitas, akan dapat berkembang dengan baik dalam pembentukan karakter mereka masing-masing di kemudian hari (Nugroho dan Wibowo, 2016). Ini menunjukkan, bahwa meskipun menganut kepercayaan agama yang berbeda, tetapi mereka memiliki satu kesatuan kebudayaan Bali yang didasari atas nilai-nilaiTri Hita Karana, Desa Kala Patra, Tri Kaya Parisuda, Tri Mandala,Menyama Braya yang dapat memperkuat nilai-nilai kebhinekaan dan kebangsaan.

Adanya konsep Desa Kala Patra yang didasari pemahaman pada tempat, waktu dan keadaan tampaknya juga dikedepankan dalam upaya menjaga adat dan agama Hindu secara berkesinambungan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika (unity in diversity) dengan mengedepankan nilai-nilai sila Pancasila yang terdiri dari persatuan, wawasan nusantara, berKetuhanan, spiritualitas, demokrasi musyawarah, toleransi, dan menghormati keragaman, (Parimartha dan Ardhana et al. 2011). Praktek-praktek kearifan lokal (best practices) hendaknya selalu dikedepankan dengan didasari pada Satyam (kesetiaan, kerukunan), Shiwam (spriritualitas dan religiusitas), dan Sundaram (keindahan) untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Bali yang memiliki tradisi budaya, bahasa, yang berbeda menuju kehidupan yang damai (shanti) (Yoga Segara, 2017, cf. Ardhana, 2019a).

V. Simpulan

Di Bali pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya telah memiliki kebudayaan dasar (basic culture) yang sudah berakar lama di masing-masing wilayah di Kepulauan Nusantara. Dalam kebudayaan dasar itu terdapat kearifan lokal (local wisdom) mereka masing-masing yang masih berlanjut hingga sekarang. Dengan datangnya pengaruh luar seperti datangnya budaya Hindu, Buddha, Konfusianisme, Islam, Keristen, dan Katholik tampak mengalami proses akulturasi budaya dimana budaya yang berasal dari dari luar itu diadopsi dan diadaptasi tanpa tercerabut dari akar-akar kebudayaan dasar itu.

Namun demikian, ini tidaklah berarti bahwa tidak adanya riak-riak sosial yang kadang-kadang mengusik kerukunan masyarakat yang beragam latar belakang tradisi, budaya, bahasa, etnisitas dan agama mereka antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Adanya tantangan masa kini yang berkaitan dengan konservatisme agama dan kegagalan kapitalisme global dalam memberikan pemerataan dan keadilan tampak perlu upaya memikirkan untuk membangun kehidupan manusia yang bermartabat secara berkelanjutan. Oleh karena itu, betapa pentingnya untuk memberikan pendidikan toleransi yang berawal dari keluarga sehingga empati pada sesama, meskipun memiliki perbedaan tradisi, bahasa, agama dan etnisitas, akan dapat berkembang dengan baik di bumi Nusantara. Hingga saat ini, masyarakat Bali pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki nilai-nilai tradisi yang berakar kuat, sehingga mampu dijadikan pedoman dalam kaitannya dengan pembangunan karakter bangsa di masa kini dan masa yang akan datang secara berkelanjutan.

Oleh :
I Ketut Adhana (Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar)

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut, Anak Agung Gde Raka, Dewa Ketut Budiana, I Nyoman Suarka (et al.). 2019a. Pancasila, Kearifan Lokal, dan Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ardhana, I Ketut (et al.). 2019b. Bali dan Multikulturalisme: Merajut Kebhinekaan untuk Persatuan. Denpasar: Cakra Media Utama.
Ardhana, I Ketut. 2019c. “Hindu di Manado: Sejarah, Migrasi dan Sumberdaya Manusia Umat Hindu dalam Kerangka Masyarakat Multikultur”, dalam I Ketut Ardhana dan Ni Made Frischa
Aswarini (eds.). 2019c. Dinamika Hindu di Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ardhana, I Ketut (et al.). 2019d. Ende di Flores: Dari Tinggalan Sejarah, Kota Pusaka Hingga
Destinasi Wisata Nasional. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ardhana, I Ketut. 2018. “Female Deities in Balinese Society: Local Genious, Indian Influences
and Their Worship”, dalam International Journal of Interreligious and Intercultural Studies.
Vol. I, Issue 1, October. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia (UNHI).
Ardhana, I Ketut. 2017a. “Budaya Indonesia Masa Kolonial”, dalam Ida Bagus Putra Yadnya
dan I Wayan Ardika (eds). Dinamika Manusia dan Kebudayaan Indonesia Dari Masa Ke Masa.
Denpasar: Pustaka Larasan dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Ardhana, I Ketut, I Ketut Setiawan (et al.). 2017b. Pura Besakih, Candi Sukuh dan Candi Cetho:
Persamaan dan Perbedaan Arsitektur, dan Indigenisasi Budaya di Bali dan Jawa Tawa Tengah.
Denpasar: Universitas Udayana.
Ardhana, I Ketut. 2017c. “Religious Teachings on Sustainability in the Context of Hinduism in
Bali”, dalam Istanbul Journal of Sociological Studies, Vol. 2, Issue: 56. Istanbul: Istanbul
University, Turkey.
Ardhana, I Ketut. 2014. “Explore The Figure of Udayana in Bali: The Wisdom Values of
Udayana’s Role in the Context of Religious, History, Social Culture, Economy, Law and
Defence in the Local, National amd Universal Perspectives”, dalam I Ketut Ardhana dan I Ketut
Setiawan (eds.), Raja Udayana Warmadewa. Denpasar: Pemerintah Kabupaten Gianyar dan
Pusat Kajian Bali Universitas Udayana.
Ardhana, I Ketut. 2013. “Early Harbours in Eastern Nusa Tenggara”, dalam John N. Miksic dan
Goh Geok Yian (eds.). Ancient Harbours in Southeast Asia: The Archaeology of Early Harbours
and Evidence of Inter-Regional Trade. Bangkok: SEAMEO-SPAFA Thailand.
Ardhana, I Ketut. (et al.) 2011. Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan
Integrasi. Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra,
Universitas Udayana.
Ardhana, I Ketut. 2007a. “The Minority Groups and Multiculturalism in Sabah, Malaysia”,
dalam Carmencita T. Aguilar (eds.). Ethnicity: Socio-Cultural and Eonomic Challenges.
Bangkok: International Federation of Social Science Organization.
Ardhana, I Ketut. 2007b. “The Question of Nationalism and Local identity: Decentralisation in
Bali”, dalam Questions of Nationalism and Cultural Identity in the Present Day Asia. Jakarta:
Researh Centre for Regional Studies-The Indonesian Institute of Sciences and the Japan
Foundation.
Ardhana, I Ketut. Jayl Langub dan Daniel Chew. 2004. “Border of Kinship and Ethnicity: Cross
Border Relations between the Kelalan Valley Sarawak and the Bawan Valley, East Kalimantan”,
dalam Borneo Research Bulletin, Helsinki: University of Helsinki, Finland.
Ardhana, I Ketut. 2002. “Masyarakat Multikultural: Konsep, Perbincangan, Wacana, Analisa dan
Temuan”, dalam Masyarakat Indonesia. Vol. XXVIII, No. 1. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Ardhana, I Ketut. 2000. Nusa Tenggara nach Einrichtung der Kolonialherrschaft 1915 bis 1950.
Passau: Lehrstuhl fur Sdostasienkunde Universitat Passau Deutschland, Jerman).
Ardhana, I Ketut. 1994. “Balinese Puri in Historical Perspective: The Role of Puri Satria and
Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906—1950”.
(Unpublished Master Thesis). Canberra: Faculty of Asian Studies-The Australian National
University, Australia).
Aziz, Abdul. 2017. Teuku Kemal Fasya (et. al.) 2017. Intoleransi, Revitalisasi Tradisi dan
Tantangan Kebinekaan Indonesia. JakartaL The Ford Foundation dan The Asia Foundation.
Banawiratma, J. B. dan Hendri Sendjaja (ed.). 2017. Spirituaitas dari Berbagai Tradisi. Jakarta:
Penerbit Kanisius.
Beratha, Sutjiati Ni Luh dan I Wayan Ardika. 2014. “Interreligious Relationship between
Chinese and Hindu Balinese in Three Villages in Bali”, dalam Brigitta Hauser Schaublin dan
David H. Harnish (eds.). Between Harmony and Discrimination: Negotiating Religious Identities
within Majority-Minority Relationships in Bali and Lombok. Leiden: Brill.
Budiwanti, Erni 2014. “The Purification Movement in Bayan North Lombok; Orthodox Islam vis
a vis Religious Syncretism”, dalam Brigitta Hauser Schaublin dan David H. Harnish (eds.).
Between Harmony and Discrimination: Negotiating Religious Identities within Majority-
Minority Relationships in Bali and Lombok. Leiden: Brill.
Creese, Helen. 2012. Perempuan dalam Dunia Kakawin: Perkawinan dan Seksualitas di Istana
Indic Jawad dan Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Dahm, Bernhard dan Roderich Ptak. 1999. Sudostasienkunde: Geshichte, Gesellschaft, Politik,
Wirtschaft, Kultur. Munchen: Verlag CH Beck.
Darma Putra, I Nyoman. 2014. “Puja Mandala: An Invented Icon of Bali’s Religious
Tolerance?”, dalam Brigitta Hauser Schaublin dan David H. Harnish (eds.). Between Harmony
and Discrimination: Negotiating Religious Identities within Majority-Minority Relationships in
Bali and Lombok. Leiden: Brill.
Dhana, I Nyoman. 2014. “United in Culture-Separate Ways in Religion: The Relationship
between Hindu and Christian Balinese”, in Brigitta Hauser Schaublin dan David H. Harnish
(eds.). Between Harmony and Discrimination: Negotiating Religious Identities within Majority-
Minority Relationships in Bali and Lombok. Leiden: Brill.
Eko Putro, Zaenal Abidin. 2017. Distorsi Keberagaman Masyarakat. Jakarta: Puslitbang Binmas
Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI.
Eriksen, Thomas Hylland .1993.Ethnicity & Nationalism: Anthropological Perspectives. London
and Boulder, Colorado: Pluto Press
Gottowik, Volker. 2005. Die Erfindung des Barong: Mythos, Ritual und Alteritat auf Bali.
Berlin: Dietrich Reimer Verlag.
Gust, Heike. 1994. “Der Balinesische Hinduismus in Geschichte und Gegenwart”. (Master
Unpublished Thesis). Passau: Lehrstuhl fur Sudostasienkunde Universitas Passau, Jerman.
Heine-Geldern, Robert. 1956. Conceptions of States and Kinship in Southeast Asia. Ithaca-New
York: Southeast Asia Program Department of Asian Studies.
Hew Wai Weng. 2019. BerIslam ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di
Indonesia. Bandung: Mizan.
Kahn, Joel S. 1995. Culture, Multiculture, Postculture. London, Thousand Oaks, and New Delhi:
SAGE Publications.
Kieven, Lydia, 2014. Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit:
Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-candi Periode Jawa Timur Abad Ke-14 dan
ke-15. Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient-Kepustakaan Populer Gramedia.
Koentjaraningrat. 201986. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”, dalam Ayatrohaedi.
Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Maunati, Yekti dan Sari, Betti Rosita, 2014. “Construction of Cham Identity in Cambodia”. In
Suvannabhumi: Multi-disciplinary Journal of Southeast Asian Studies, Vol 6, No 1, June.
Najib Burhani, Ahmad. 2019. Menemani Minoritas: Paradiga Islam tentang Keberpihakan dan
Pembelaan Kepada Yang Lemah. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Nugroho, Wahyu dan Djoko Prasetyo Adi Wibowo (eds). 2016. Menuju Perjumpaan Otentik
Islam-Kristen (Sei Studi Intensif tentang Islam (SITI). Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka
Kisten Indonesia dan Pusat Studi Agama-Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana.
Parimartha, I Gede, I Ketut Ardhana (et al.). 2011. Nilai Karakter dan Aktualisasinya dalam
Kehidupan Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan dan Udayana Press.
Pederne, Lersen. (2014). “Keeping the Peace: Interpendence and Narratives of Tolerance in
Hindu-Muslim Relationship in Eastern Bali”, dalam Brigitta Hauser Schaublin dan David H.
Harnish (eds.). Between Harmony and Discrimination: Negotiating Religious Identities within
Majority-Minority Relationships in Bali and Lombok. Leiden: Brill.
Pigeaud, Theordore. G. Th. 1960. Java in the 14th Century: A Study in Classical History. The
Hague: Martinus Nijhoff.
Pageh, I Made. 2018. Model Revitalisasi Ideologi Desa Pakraman Bali Aga Berbasis Kearifan
Lokal. Depok: Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada.
Pillai, Janet. 2013. Cultural Mapping: A Guide to Understanding Place, Community and
Continuity. Petaling Jaya: Strategic Information and Research Development Centre.
Ramstedt, Martin. 2004. “Introduction: Negotiating Identities-Indonesian ‘Hindu’ between
Local, National and Global Interests”, dalam Martin Ramstedt (ed.). Hinduism in Modern
Indonesia: A Minority Religion between Local, National and Global Interests. USA dan Canada:
RoutledgeCurzon.
Rieger, Meijke. 2014. “’We are One Unit’: Configurations of Citizenship in a Historical Hindu-
Muslim Balinese Setting”, dalam Brigitta Hauser Schaublin dan David H. Harnish (eds.).
Between Harmony and Discrimination: Negotiating Religious Identities within Majority-
Minority Relationships in Bali and Lombok. Leiden: Brill.
Robson, Stuart. 1995. Desawarnana (Negarakertagama) by Prapanca. Leiden: KITLV Press.
Schaublin, Brigitta Hauser dan David D Harnish (eds.). 2014. “Introduction: Negotiating
Religious Identities within Majority-Minority Relationships in Bali and Lombok”, dalam Brigitta
Hauser Schaublin dan David H. Harnish (eds.). Between Harmony and Discrimination:
Negotiating Religious Identities within Majority-Minority Relationships in Bali and Lombok.
Leiden: Brill.
Staab, Christiane. 1997. Balinesische Dorporganisationen und ihre Bewertungen in der
Literatur. Passau: Lehrstuhl fur Sudostasienkunde.
Stuart-Fox. David J. 2010. Pura Besakih: Pura, Agama dan Masyarakat Bali. Jakarta: KITLV
Press.
Suaedy, Ahmad. 2018. Islam, Minorities and Identity in Southeast Asia. Depok: Penerbit
Inklusif.
Sugiyarto, Wakhid dan Syaiful Arif (eds.). Aktualisasi Nilai-nilai Agama dalam Memperkuat
NKRI. Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan.
Tarobin, Muhammad (dkk.). 2017. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Cerita Rakyat Daerah.
Jakarta: Kementerian Agama RI-Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.
Minoritas Agama dan Otoritas Negara. Jakarta: Puslitbang Agama dan Layanan Keagamaan
Badan LItbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Yoga Segara, I Nyoman, 2017. Dimensi Tradisional dan Spiritual Agama Hindu. Jakarta:
Puslitbang Binmas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI.
Yu, Zheng dan Jing, Zen. 2015. “Transnational Ethnic Flows and National Identity Construction:
The Cse of a Miao/Hmong Village”, dalam Wasan Panyagaew and Bai Zhihong (eds.) Uncertain
Lives: Changing Boders and Mobility in the Borderlands of the Upper Mekong. Chiang Mai,
Thailand: The Regional Center for Social Science and Sustainable Development (RCSD),
Faculty of Social Sciences, Chiang Mai University.
Wolters, O. W. 1982. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.

CURRICULUM VITAE
I Ketut Ardhana is Professor of Asian History in the Faculty of Arts-Udayana University. the
Vice Chancellor of the Yayasan Pendidikan Widya Kerthi- Universitas Hindu Indonesia (Hindu
University of Indonesia) and the Patron of the International Journal of Interreligious and
Intercultural Studies (IJIIS). He was former Head of Southeast Asia Division-Research Center
for Regional Resources- the Indonesian Institute of Sciences, Jakarta (PSDR-LIPI), 2001-2009.
His research project is on tourism and border studies in the Southeast Asia region, including:
Thailand, Cambodia, Laos, Vietnam, Malaysia, Singapore and the Philippines. Previously he
took English course at the School of Oriental and African Studies, (SOAS) - University of
London-England (1990), at the University of Belconnen in Canberra-Australia (1992), and the
Dutch course at Erasmus Huis, Universiteit te Leiden in the Netherlands (1990), and the German
course at the Goethe Institute in Mannhein and at Passau University (UP) in Germany (1996-
1997).
He studied history at the Faculty of Arts at the Department of History in Udayana
University Denpasar Bali- and continued his studies to get Drs. (Doctorandus Degree) at the
Faculty of Letters – Gadjah Mada University (UGM) in Yogyakarta in 1985. He graduated his
Master Degree (Master of Arts in Asian Studies) at Southeast Asian Centre-Faculty of Asian
Studies, the Australian National University (ANU) in Canberra Australia in 1994. He got his
PhD degree or Dr. phil. (Doctor Philosophie) at Sudostasoenkunde, Philosophische Fakultat,
Universitat Passau in Germany with predicate Magna Cum Laude in 2000. He got Fellowship to
carry research on area studies at the University of Passau in Passau- Germany in 2003 and also
fellowship in Centre for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, Kyoto-Japan in
2004.
He was also a committee member of collaboration project between Indonesia and the
Netherlands at NIOD (Nederlandsch Instituut voor Oorlog Dokumentatie) or the Dutch Institute
for War Documentation) since 2004 until 2009. He is member of International Federation of
Social Science Organizations (IFSSO from 2003 until now and was elected as the first Vice
President and in Seijo University in Tokyo has been 2015 elected as the second Vice President.
He is also a founding member of World SSH (World Social Sciences and Humanities) and
presented his paper in Buenos Aires Argentine, in 2010. He reviews an article on “Review of The
Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In cooperation with the Netherlands Institute for
War Documentation” in the Journal of Indonesia, Vol. 91, 2011 published in Cornell, the US.
“Some Notes on the Early Trade in Nusa Tenggara (Bangkok). He is appointed as the First Vice
President of International Federation of Social Sciences Organization (IFSSO) in Istanbul
Turkey and the Vice Chancellor of Widya Kerthi Foundation- Hindu University of Indonesia in
Denpasar Bali since 2017 until now.

Karya ini di paparkan I Ketut Ardhana Seminar Nasional dalam rangka perayaan hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1942 di Aula Gedeng A.H Nasution Lantai 16 Kementerian Pertahanan, Sabtu 14 Maret 2020

1 Response to "Memperkuat Persatuan Dan Kesatuan Dalam Kebhinekaan Guna Mewujudkan Perdamaian"

  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.COMPANY ....:)

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel