Bhakti Persembahan dan Jenis Upakara Bebanten yang Sering Dipergunakan Umat Hindu

HINDUALUKTA  -- Salah satu bentuk bhakti umat Hindu adalah berupa persembahan. Persembahan dimaksud adalah menghaturkan upakaraning bebanten (sesaji/sesajen) yang biasanya dilakukan sebelum acara persembahyangan (kramaning sembah) dilakukan. Umumnya tingkatan upakara bebanten yang dipersembahkan tergolong kanista (alit), seperti Canang, Soda atau Pajati, yang biasanya dihaturkan serangkaian rerainan tertentu (naimitika yadnya) seperti Tilem, Purnama, Siwaratri, atau Saraswati. 

Perihal ‘Banten” sebagai sarana persembahan, sebenanya ada banyak tafsiran tentang maknanya. Ada yang menafsirkan Banten itu sebagai suguhan/makanan kehormatan Tuhan (pinaka ajengan Ida Bhatara), sebagai simbol sthana Dewa, atau lambang pengorbanan diri umat pada Tuhan. Ada juga yang menafsirkan Banten itu dari segi sudut makna kata, yaitu “baan enten” yang artinya berasal dari kesadaran umat. Merujuk Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia (Mardiwarsito, 1978: 29, 30), kata Banten diartikan sebagai ‘kurban’ atau ‘kurban suci’. Istilah Banten ini juga sering disebut Sesaji/sesajen yang diartikan sebagai persembahan suci dalam bentuk sajian/makanan.

Perihal pentingnya penggunaan bebanten dalam aktivitas ritual persembahan ini, disuratkan di dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten : “Banten mapiteges pakahayunan, nga; pakahayunane sane jangkep galang”. Bahwa "Banten” itu adalah buah pemikiran, artinya; pemikiran yang lengkap dan bersih". Ini berarti, Banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap didasari dengan hati yang tulus ikhlas. Selanjutnya dalam Lontar Yadnya Prakerti juga disebutkan mengenai simbol dari Banten itu adalah sebagai berikut : “sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”, bahwa "Semua jenis Banten (upakara) adalah simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa dan sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta)”.

Apapun tafsiran tentang arti dan makna banten, oleh karena menyangkut agama, maka rujukannya harus tetap mengacu pada pengertian ‘agama’ sesuai sumber pustaka atau sastra Hindu. Seperti dijelaskan kitab Sarasamuscaya, sloka 181 yang menyuratkan : Agama ngarania kawarah Sang Hyang Aji, bahwa agama namanya apa yang dinyatakan dalam pustaka suci. Begitupun di dalam pustaka Wrehaspati Tattwa, 26 menyatakan: Agama ngarania ikang aji inupapatyan de Sang Guru. Artinya, bahwa agama namanya apa yang dinyatakan oleh pustaka suci yang diajarkan oleh Pandita Guru. Ditambahkan juga di dalam Wrehaspati Tattwa, 3 yang menyatakan:

“Ling Bhatara apan kojar nika
Sang Hyang Sastra ya tinut nika
Sang Pandita yan magawe punia bhakti”.

Maknanya:

‘Sabda Ida Bhatara karena apa yang dinyatakan dalam pustaka suci, itulah yang wajib diikuti oleh Pandita kalau melakukan Punia Bhakti’. 

Sehubungan dengan bhakti persembahan yang dihaturkan umat Hindu pada kesempatan rerainan Tilem, Purnama, Siwaratri dan Saraswati, ada beberapa jenis upakara bebanten yang sering dan lazim dipergunakan, yaitu : 

1. Canang 
Kata “Canang” berasal dari bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi yang berarti ‘sirih’, yang disuguhkan pada tamu yang dihormati. Jadi, oleh karena itu Canang di jadikan suatu sarana yang harus ada karena dipersembahkan kepada Tuhan atau Ida Sanghyang Widhi dalam ajaran agama Hindu di Bali. Dalam ajaran agama Hindu di Bali Canang mengandung beberapa makna, yaitu : 1) Sebagai lambang perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon perlindungannya untuk dapat menciptakan, memelihara dan meniadakan yang berhubungan dengan hidup manusia; 2) Sebagai lambang menumbuhkan keteguhan, kelanggengan dan kesucian pikiran; 3) Sebagai lambang suatu usaha umat manusia untuk menerapkan ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup (Wiana, 1992: 63). 

Membandingkannya dengan tradisi Jawa Kuna, sirih itu juga disebut Canang sebagai lambang penghormatan kepada para tamu. Demikianlah yang disebut Banten Canang dalam ritual Hindu menjadikan sirih sebagai unsur terpenting yang berbentuk Porosan. Porosan itu dibuat dengan menggunakan selembar atau lebih daun sirih lalu diisi sekerat pinang dan sedikit kapur lalu dibungkus berbentuk segi tiga. Porosan itu lambang Tri Murti, Pinang lambang Dewa Brahma, Sirih lambang Dewa Wisnu dan Kapur lambang kemahakuasaan Dewa Siwa. Tujuan menggunakan Canang dalam pemujaan Hindu adalah untuk mendapatkan tuntunan dari Tuhan dalam manifestasinya sebagai Hyang Tri Murti.

Melalui Canang juga terdapat simbol-simbol yang menggambarkan sikap yang diwujudkan untuk mencapai karunia Hyang Tri Murti. Simbol tersebut misalnya setiap Canang sampiannya dibentuk dengan reringgitan dan tetuwasan. Dalam Lontar Yadnya Prakerti reringgitan-tetuwasan itu lambang ’kelanggengan meyadnya’ yang dilandasi kesucian dan ketulusan hati.

Secara material, Canang terdiri atas beberapa unsur yaitu : (a) Porosan, melambangkan Tuhan/Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifetasinya sebagai Tri Murti; (b) Plawa/daun-daunan, melambangkan tumbuhnya pikiran suci dan hening; (c) Tetuwasan/Jejaitan, lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia; (d) Bunga warna-warni, melambangkan keikhlasan dan keindahan; (e) Uras Sari, dibuat dari garis silang yang menyerupai tanda tambah (tapak dara) yang merupakan bentuk sederhana dari Swastika (Wiana, 1992: 67). 

Satu hal yang patut dipahami, Canang dengan berbagai piranti kelengkapannya beserta simbol dan makna yang terkandung merupakan sarana persembahan bukan alat persembahyangan, meskipun di dalamnya terdapat unsur bunga warna-warni yang dapat dimanfaatkan pada saat melaksanakan Kramaning Sembah.

2. Soda
Soda adalah salah satu jenis Banten persembahan yang sering juga disebut Ajuman. Soda ini menggunakan alas berupa Ceper atau Taledan atau Tamas. Diatas alas tersebut berisi dua buah penek yang merupakan lambang dari danau dan lautan atau Purusa dan Pradana. Terdapat pula Rerasmen yang alasnya dapat memakai celemik ataupun ceper kecil. Kemudian terdapat Raka-raka, lalu diatasnya diletakkan Sampyan Plaus yang berbentuk segitiga, yang dilengkapi dengan porosan, bunga, kembang rampe, dan miyik-miyikan. Sodaan ini merupakan berfungsi sebagai bentuk suguhan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Adapun fungsi banten Soda/Ajuman ini adalah sebagai haturan persembahan untuk memuliakan Ida Sanghyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud). Ketika mempersembahkan banten Soda/Ajuman ini bisa berdiri sendiri, atau dipersembahkan bersama dalam suatu banten tertentu, misalnya untuk melengkapi banten pajati, menjadi bagian dalam banten ayaban tumpeng lima, tumpeng pitu, dan sorohan banten lainnya. 

3. Pajati
Salah satu jenis Banten yang juga dipergunakan dalam ritual persembahan umat Hindu adalah Pajati. Kata “Pajati” berasal dari kata “Jati” mendapat awalan “Pa” sehingga menjadi “Pajati”. “Jati” artinya bersungguh-sungguh, benar-benar dan ditegaskan lagi menjadi sebenarnya atau sesungguhnya (Swastika, 2008: 106). Banten Pajati merupakan sarana upacara yang terdiri dari beberapa banten lainnya yang merupakan satu kesatuan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan sesuatu dan berharap akan hadir-Nya dalam wujud manifestasi sebagai saksi dalam upacara tersebut. Oleh karena itu, Banten Pajati juga bermakna sebagai sarana memohon Pasaksi (penyaksi) dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Unsur-unsur yang terdapat dalam dari Banten Pajati adalah Daksina, Peras, Penyeneng, Tipat Kelanan, Sodaan, dan Segehan. 


Terkait dengan keperluan akan sarana upakara bebanten ini, belakangan muncul fenomena pembelian banten siap saji. Menurut penelitian Widana (2015: 86-87) ada beberapa alasan umat membeli banten siap saji, yaitu : 1) pertimbangan praktis; 2) karena kesibukan; 3) lantaran malas; 4) perhitungan ekonomis; 5) tidak terampil membuat banten; atau 6) tidak mendapat ayahan, terutama untuk pelaksanaan upacara yadnya tertentu. Kuncinya adalah umat mempunyai uang kemudian tinggal membeli saja banten sesuai keperluan. Apalagi sekarang terdapat banyak tempat pembelian banten siap saji, seperti di Geriya, tukang banten/sarathi, termasuk pedagang banten di kaki lima, pasar tradisional, warung, kios, toko bahkan toko modern seperti swalayan. Bahkan seiring era digital melalui media sosial, pembelian banten siap saji juga bisa dilakukan lewat media online. 

Dari sudut pandang bisnis, kebutuhan umat akan sarana upakara bebanten menjadi salah satu faktor bergerak dan hidupnya perekonomian, tidak saja di kalangan umat Hindu itu sendiri tetapi juga berimbas pada umat non Hindu yang turut memanfaatkannya semisal sebagai pedagang Canang dan keperluan sarana bebanten lainnya. Ada juga sebagai pemasok/pedagang bahan pokok pembuatan sarana yadnya seperti janur/busung, bunga, buah, kelapa, telur, dan sebagainya yang memang banyak didatangkan dari luar Bali. Ternyata terbukti bahwa praktik keagamaan umat Hindu yang sarat dengan aktivitas ritual yadnya dapat membawa berkah anugrah melimpah bagi semua umat manusia, termasuk umat lain, tidak hanya dalam teks kitab suci bernada sloganistik tetapi benar-benar nyata dalam kenyataan. 

Referensi

KETUT WIDANA, I GUSTI. 2020. ETIKA SEMBAHYANG UMAT HINDU . Denpasar: Pers UNHI

0 Response to "Bhakti Persembahan dan Jenis Upakara Bebanten yang Sering Dipergunakan Umat Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel