Pengertian dan Makna Tumpek Wayang

HINDUALUKTA -- Secara Etimologi Tumpek Wayang berasal dari dua kata yakni Tumpek dan Wayang. Tumpek sendiri berasal dari kata "Tu" yang artinya metu atau lahir dan "Pek" yang berarti putus atau berakhir. Sedangkan kata Wayang merupakan bagian dari Wuku yang juga mengandung arti "Bayang atau Bayang-Bayang". Istilah Tumpek lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu “Saniscara” (Akhir Sapta Wara) dan "Kliwon" (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan saniscara dan Kliwon disebutlah "Tumpek". Upacara Tumpek Wayang dilaksanakan untuk memuja Sang Hyang Widhi sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan.



Umat Hindu di Bali, melaksanakan upacara Tumpek Wayang diperuntukkan bagi semua jenis "reringgitan" seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong, gender, gambang, genta gendongan). Adapun tujuan dari pelaksanaan upacara Tumpek Wayang ini adalah sebagai bentuk permohonan bagi meraka yang menjalani profesi pewayangan sehingga dapat menjadi Dalang Metaksu yang mampu menjembatani alam wayang yang abstrak kedalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-nilai tuntunannya. Selain itu, upacara Tumpek Wayang juga memiliki makna agar manusia mendapatkan kesadaran bahwa  hidup ini sebenarnya merupakan panggung wayang dimana keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana akhirnya tujuan kita sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu Hyang Widhi. Karena itu kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar memperoleh jagadhita dan moksa; kesejahtraan lahir dan kebahagian batin.

Bagi orang-orang yang lahir di Tumpek Wayang lalu minta tebusan wayang (ngupah wayang) kiranya dapat dikaitkan dengan mitilogi Dewa Kala yang secara singkat dapat diceritakan: Ketika Dewa Kala menanyakan perihal makanan yang bisa disantap, Dewa Siwa ayahandanya menunjuk orang yang lahir di wuku wayang dan orang yang berjalan tepat ditengah hari. Kebetulan putra Dewa Siwa yaitu Rare Kumara lahir tepat pada waktu wuku wayang, maka Dewa Kala hendak memakan saudaranya itu. Namun tidak berhasil, sampai pada suatu ketika Rare Kumara tiba disebuah pementasan wayang lalu berbunyi di bungbung gender. Di tempat itu Dewa Kala tidak menjumpai Rare Kumara sementara itu ia sendiri perlu makan. Akhirnya Dewa Kala menyantap segala sesajen yang tersedia untuk pertunjukan wayang itu. Lalu oleh Ki Dalang, Dewa Kala dinasehati agar tidak meneruskan niatnya memakan Rare Kumara, sebab Dewa Kala telah mendapatkan pengganti berupa banten wayang.

Dari kisah ini kemudian lahir kepercayaan untuk “ngupah wayang” bagi anak-anak yang dilahirkan, tepat pada saat jatuhnya Tumpek Wayang. Tujuan utamanya tidak lain untuk memohon kerahayuan, sekaligus agar dianugrahi kesejahtraan dan kebahagian lahir dan batin.

Mengenang Tuhan Lewat Wayang

Sudamala, etos kerja dan namasmaranam, paling tidak itulah makna yang dapat dipetik dalam pementasan wayang kulit tradisi duta Gianyar, yang tampil di wantilan Taman Budaya, 15 Juni lalu. Sanggar Suara Murti yang menampilkan dalang I Made Juanda dari Sukawati Gianyar itu menyuguhkan lakon Katundung Hanoman.

Pertunjukan yang berdurasi sekitar 150 menit itu diawali dengan pertemuan Rama, Laksmana dan Sugriwa. Dalam pertemuan itu, Rama mengatakan bahwa Hanoman menolak hadiah sebagai balas jasa ikut memerangi Rahwana.

Dalam cerita dituturkan, seusai perang, Rama membagi-bagi hadiah kepada para pahlawan kera yang sangat berjasa dalam perang di Alengka. Hadiah itu tidak tanggung-tanggung. Masing-masing kera menerima bidadari dari kahyangan yang cantiknya mungkin melebihi para selebritis di dunia ini.

Tapi khusus untuk Hanoman, bukan bidadari yang diberi sebagaia hadiah, melainkan kalung emas Dewi Sita. Kalung itu, dari segi harga mungkin tidak mahal, tapi memiliki nilai historis yang tidak ternilai. Kalung itu adalah mas kawin Rama, saat putri dari Matili itu menikah dengan putra mahkota Ayodhya.

Sikap Hanoman yang menolak hadiah itu ternyata disalahtafsirkan oleh Sugriwa. Sebagai paman Hanoman, Sugriwa mohon maaf kepada Rama atas sikap keponakannya yang dinilai tidak hormat itu. Sugriwa tak bisa memaafkan Hanoman, dan keponakannya itu pun diusir dari komunitas kera, setelah sempat disiksa.

Hanoman yang melakukan perlawanan kepada Sugriwa segera pergi entah kemana. Dalam perjalanannya, putra Dewi Hanjani itu mengubah dirinya menjadi raksasa dengan nama Kalapetak. Secara tak sengaja ia bertemu dengan raksasa bernama Kumbapranawa. Rakasa itu hendak menyerang Rama, karena ingin membalas dendam atas kematian Kumbakarna, gurunya.

Kalapetak pun sepakat bergabung dengan Kumbapranawa. Mereka sama-sama menyerang Rama. Dalam perang itu, Kumbapranawa gugur. Tapi Kalapetak tak bisa dikalahkan oleh pasukan kera. Rama pun kemudian turun tangan. Tapi ia tidak melepaskan senjata, melainkan sarana pemunah segala kekotoran. Sarana yang dilambangkan kayonan itu bisa mengubah Kalapetak ke wujudnya semula sehingga menjadi Hanoman kembali.

Sebagai abdi yang baik, tentu saja Hanoman segera menyembah Rama. Ia segera mohon maaf dan menyatakan bahagia mendapat sarana pemunah kekotoran itu. Kemudian Hanoman menjelaskan, mengapa menolak hadiah kalung emas, tiada lain karena ia bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan balas jasa berupa harta benda yang sifatnya duniawi. Yang ia inginkan adalah, diri Rama manunggal dengan dirinya. Dengan demikian, dimanapun dan kapanpun Hanoman selalu dapat mengingat Rama yang tak lain penjelmaan Wisnu di dunia ini. Dalam bahasa Sansekerta, mengingat dan menyebut nama Tuhan berulang-ulang disebut namasmaranam. Atas permintaan itu, Rama berkenan bersemayam dalam padma hredaya (hati) Hanoman.

Lakon yang disuguhkan Juanda itu, rupanya sudah diimbuhi kawidalang (karangan dalang) dari cerita sumbernya. Dalam versi India (yang dianggap sebagai sumber cerita Ramayana), Hanoman tidak pernah diceritakan diusir oleh Sugriwa akibat penolakan hadiah kalung emas itu. Hanoman diceritakan membuka dadanya dan yang masuk ke padma hredayanya adalah Rama dan Sita. Demikian pula tak pernah diceritakan, murid Kumbakarna bernama Kumbapranawa membalas dendam. Tokoh itu, rupanya hasil karangan dalang.

Kawi dalang itu sah-sah saja, karena memang tidak merusak babon cerita. Penambahan itu mungkin saja dilakukan untuk memperkaya cerita dan menambah unsur-unsur dramatis sehingga dapat memancing emosi pendengar atau penonton. Apa yang diperoleh Hanoman, rupanya itulah hadiah yang tertinggi. Tidak ada hadiah yang lebih tinggi lagi selain dapat mengenang nama Tuhan tiap hembusan nafas.

Akan tetapi untuk dapat mencapai hal yang luar biasa dan istimewa itu, diperlukan usaha spiritual (sadhana) yang luar biasa pula. Bentuk sadhana itu adalah pengabdian yang tulus ikhlas. Pengabdian yang tulus ikhlas antara lain baru bisa dilakukan setelah berhasil mengubah sifat keraksasaan menjadi sifat kemanusiaan. Sifat kemanusiaan itu juga diubah menjadi sifat kedewataan. Dengan adanya sifat kedewataan itulah, maka akan menunggal dengan dewata. Dalam istilah Jawa, sebagaimana disebutkan Dalang Juanda, manunggalaning kawula lan Gusti.

Keagungan Ramayana

Dari segi seni pertunjukan, penampilan Juanda di malam itu tentu saja ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan Juanda terlihat ketika ia melantunkan lagu untuk sesendon. Vokalnya sangat pas untuk seni pedalangan. Penguasaan Juanda tentang isi kekawin, khusus untuk kebutuhan seni pedalangan rupanya sudah cukup memadai. Bahasa Kawi-nya pun cukup lancar. Akan tetapi cara penempatan lagu sesendon kadang-kadang kurang pas, sehingga bisa merusak suasana.

Selain itu, Juanda rupanya perlu memperpanjang tarian kera. Sebab, di sinilah salah satu ciri khas wayang Ramayana. Masyarakat awam sering menerjemahkan kata "ramayana" dengan istilah "ramai". Jadi, mungkin maksudnya, wayang Ramayana itu mesti dipentaskan dalam suasana ramai. Masuk akal juga terjemahannya itu, karena kalau ada pertunjukan wayang Ramayana hanya diiringi 4 gender saja, alangkah sepinya pementasan itu.

Mengingat Sukawati (tempat kediaman Juanda) gudangnya wayang, maka Juanda sangat mungkin dapat menampilkan berbagai adegan tarian kera, sehingga akan menambah maraknya suasana. Dalang Sukawati yang lain, sering menampilkan adegan kera yang kocak-kocak, dan jika itu diulangi lagi, tidak akan terkesan basi, karena penonton PKB juga banyak yang baru.

Terlepas dari kekurangan itu, Juanda memiliki kekuatan, peluang dan kesempatan yang panjang untuk mengembangkan bakat pedalangannya. Pementasan wayang kulit di arena PKB yang mengangkat epos Ramayana, tentu saja memiliki berbagai makna yang patut dipetik. Sebab, Ramayana yang ditulis Maharsi Valmiki, adalah salah satu bagian dari Itihasa, memiliki pengaruh dan manfaat besar bagi umat manusia dalam melakukan pendakian spiritual.

Dalam Valmiki Ramayana disebutkan bahwa pahala membaca Ramayana antara lain: "Ia yang menginginkan kebahagiaan, hendaknya berkontemplasi kepada Sri Rama dan menceritakan epos Ramayana setiap hari. Ia yang ingin membaca seluruh cerita Ramayana tidak diragukan lagi akan mencapai Visnuloka. Mendengarkan, walaupun satu suku kata saja atau sebaris dari sloka Ramayana dengan penuh hormat, seseorang akan mencapai Brahmaloka dan mendapatkan penghargaan."

Ramayana karya Maharsi Valmiki disebut Mahakavya yang artinya karya puisi yang agung. Cerita itu merupakan tuntunan mulia untuk seluruh umat manusia dan dinilai sama seperti tirta amerta, sama seperti Sungai Gangga yang maha suci. Mengingat keagungan dan kesuciannya itu, Ramayana yang dijadikan lakon dalam kesenian apapun memang patut ditonton. *Wayan Supartha.

Makna Tumpek Wayang

Dalam rerainan umat Hindu, khususnya di Bali dikenal ada enam macam Tumpek yang jatuhnya selalu pada Sapta Wara dan Panca Wara yang sama yaitu Saniscara (sabtu) Kliwon, sedang wukunya berbeda-beda. Kalau jatuh pada wuku Landep disebut Tumpek Landep (rerainan untuk benda-benda lancip yang dibuat dari logam) seterusnya disebut menurut wukunya : Tumpek Wariga (rerainan untuk tanem-tuwuh), Tumpek Kuningan (rerainan Kuningan), Tumpek Klurut (rerainan untuk kesenian), Tumpek Uye (rerainan untuk sarwa unbuan) dan Tumpek Wayang yang tidak lain merupakan rerainan untuk memohon kerahayuan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya segala dewanya segala jenis tetabuhan (alat musik tradisional) dan wayang kulit, yaitu Dewa Iswara.

Yang di mohonkan kerahayuan pada rerainan Tumpek itu adalah semua jenis “reringgitan” seperti wayang termasuk juga arca, pratima serta jenis tetabuhan yang menyertai seperti gong, gender, di tambah dengan gambang, genta, gendongan. Kesemua itu dilakukan sebagai sibol bahwa umat manusia sebenarnya tidak ubahnya seperti wayang dengan berbagai tokoh serta dinamika peran dalam layar pementasan atau panggung sandiwara. Dengan diiringi berbagai jenis tetabuhan manusia melakoni berbagai peran untuk akhir dari segala tujuan berikhtiar mencapai-nya, yang tidak lain dari Dalang dari segala sang Dalang. Karena itu melaksanakan rerainan Tumpek Wayang sesungguhnya bermakna mengingatkan kembali untuk selanjutnya dengan kesadaran tinggi manusia memahami hakikat Sang Diri.

Memang rerainan Tumpek Wayang ini diumumkan terbatas dilakukan di kalangan dalang atau pemilik wayang. Meski begitu melalui reraianan Tumpek Wayang ini umat selalu diajak bercermin pada wayang dengan segala tokoh dan peranannya. Adakah kita seperti Darmawangsa, Arjuna, Bima, atau masih seperti Sekuni, Duryadana. Bercermin pada wayang itu penting untuk memperbaiki citra diri atau penyempurnaan karma masing-masing.

Mengenai arti filosofi dari setiap perangkat dalam pementasan wayang, antara lain dapat disebutkan :

  1. Kelir (layar) Wayang : merupakan simbol ruang, alam permukaan bumi. Juga dapat dikatakan sebagai lambang badan jasmani yang akan menampakkan bayangan hati dan menggambarkan gejolak Tri Guna.
  2. Lampu Belencong : melambangkan matahari yaitu sinar hidup yang terpancar dari Hyang Widhi. Juga merupakan sinarnya Jiwatma yang memberikan sinar kepada Tri Guna.
  3. Dalang : simbol dari Hyang Widhi yang berkuasa atas segala tokoh dan peran yang dimainkan manusia. Dalang juga merupakan jiwatma yang memberikan sinar/kekuatan melalui suksma sarira sehingga sthula sarira menjadi hidup dan dinamis.
  4. Wayang : tidak lain merupakan lambang makhluk-makhluk ciptaannya: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, masing-masing lahir hidup-mati sesuai kehedak-Nya. Gedog (tempat wayang) sendiri merupakan simbol Tri Kona (lahir hidup-mati)
  5. gender : merupakan irama dinamis dari perjalanan zaman. Juga merupakan suara suksma tentang kehidupan kematian.

0 Response to "Pengertian dan Makna Tumpek Wayang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel